Gereja Katedral merupakan salah satu bangunan cagar budaya yang ada di Jakarta. Sebelum diresmikan sebagai bangunan cagar budaya, Gereja Katedral mempunyai sejarah yang panjang dalam pembangunannya. Pembangunan Gereja Katedral dimulai ketika Paus Pius VII mengangkat Pastor Nelissen sebagai prefek apostik Hindia Belanda pada 1807. Saat itulah dimulai penyebaran misi dan pembangunan gereja Katolik di kawasan Nusantara, termasuk di Jakarta.
Masjid Istiqlal dibangun pada masa Presiden Soekarno dan diresmikan pada 22 Februari 1978 oleh Presiden Soeharto. Ide pembangunan masjid ini muncul pada tahun 1950 oleh KH. Wahid Hasyim dan Anwar Tjokroaminoto. Pada tahun 1954, KH. Wahid Hasyim, H. Agus Salim, Anwar Tjokroaminoto, dan Ir. Sofwan mendirikan Yayasan Masjid Istiqlal. Pada 24 Agustus 1961, Presiden Soekarno melakukan pemancangan tiang pertama Masjid Istiqlal.
Pembangunan masjid mengalami kendala karena situasi politik yang kurang kondusif. Pembangunan masjid terhenti pada tahun 1965 karena peristiwa G30S/PKI. Pada tahun 1966, pembangunan masjid dilanjutkan oleh Menteri Agama KH. M. Dahlan. Masjid Istiqlal diresmikan pada 22 Februari 1978 oleh Presiden Soeharto. Masjid Istiqlal dibangun di atas bekas benteng Belanda Frederick Hendrik dan Taman Wilhelmina. Lokasi ini dipilih untuk menunjukkan kerukunan umat beragama di Indonesia.
Tetapi kedua bangunan rumah ibadah ini bukan soal perbedaan bentuk dan keyakinan, tetapi keduanya mesjid Istiqlal dan gereja Katedral justru saling berhadapan, dan dihubungkan dengan lorong yang dikenal dengan terowongan silaturahmi yang diresmikan oleh Presiden Prabowo Subianto 12 Desember 2024 yang lalu. Terowongan ini bukan sekedar lorong, tetapi terowongan ini mengandung makna filosofis, religius dan humanity, yang kemudian membentuk hubungan-hubungan kemanusiaan antar pemeluk agama dan sesama manusia lainnya.
Secara manusiawi saya begitu berdecak kagum melihat dua bangunan megah saling berdampingan dan saling terhubung dalam interkoneksitas kemanusiaan yang tinggi. Kemanusiaan tertinggi adalah mereka yang memposisikan manusia sederajat tanpa skat dengan variabel lainnya termasuk agama dan ras—(menterjemahkan pandangan Bertrand Russel ; masyarakat tanpa agama)