Istiqlal dan Katedral; Simbol Dialog Peradaban

  • Bagikan

Peran Moderasi Beragama; Jalan Tengah yang Damai

Moderasi beragama adalah cara pandang, sikap dan prilaku beragama yang dianut dan dipraktikkan oleh sebagian besar penduduk negeri ini, dari dulu hingga sekarang.Pemerintah pun menjadikan moderasi beragama sebagai salah satu program nasional dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN).

Dalam konteks akidah dan hubungan antarumat beragama, moderasi beragama adalah meyakini kebenaran agama sendiri “secara radikal” dan menghargai, menghormati penganut agama lain yang meyakini agama mereka, tanpa harus membenarkannya. MB sama sekali bukan pendangkalan akidah, sebagaimana dimispersepsi oleh sebagian orang.

Dalam konteks sosiol budaya moderasi beragama, berbuat baik dan adil kepada yang berbeda agama adalah bagian dari ajaran agama (al Mumtahanah ayat 8). Dalam konteks berbangsa dan bernegara atau sebagai warga negara, tidak ada perbedaan hak dan kewajiban berdasar agama. Semua sama di mata negara.

Dalam konteks politik, bermitra dengan yang berbeda agama tidak mengapa. Bahkan ada keharusan untuk committed terhadap kesepakatan-kesepakan politik yang sudah dibangun walau dengan yang berbeda agama, sebagaimana dicontohkan dalam pengalaman empiris nabi di Madinah dan sejumlah narasi verbal dari nabi.

Modearasi beragama bertentangan dengan politik identitas dan populisme. Sebab, di samping bertentangan dengan ajaran dasar dan ide moral atau the ultimate goal beragama, yakni mewujudkan kemaslahatan, juga sangat berbahaya untuk konteks Indonesia yang majemuk.

Dalam konteks intra umat beragama, moderasi beragama tidak menambah dan mengurangi ajaran agama, saling menghormati dan menghargai jika terjadi perbedaan (apalagi di ruang publik) dengan tetap mengacu pada kaedah-kaedah ilmiah. Tidak boleh atas nama moderasi beragama, semua boleh berpendapat dan berbicara sebebasnya, tanpa menjaga kaedah-kaedah ilmiah dan tanpa memiliki latar belakang dan pengetahuan yang memadai.

Cara beragama moderat seperti inilah yang selama ini menjaga kebhinekaan dan keindonesiaan kita. Lalu mengapa pemerintah dalam hal ini Kementerian Agama menjadikannya sebagai program prioritas, jika dari dulu hingga sekarang sebagian besar penduduk negri ini sudah moderat? Ada beberapa dinamika dan fakta sosiologis yang mendasarinya.

Kemajuan tehnologi informasi dan globalisasi telah menciptakan realitas baru, baik positif maupun negatif, dan mendisrupsi berbagai aspek kehidupan kita, termasuk kehidupan beragama. Dunia digital telah menembus ruang-ruang privasi umat beragama. Berbagai faham agama mulai dari yang paling kanan (ultra konservatif) sampai yang paling kiri (liberal), bahkan sampai yang ekstrem radikal dapat diakses secara borderless oleh siapapun.

Hal ini memungkinkan terjadinya proses transmisi paham keagamaan dari berbagai penjuru dengan bebas, tanpa filter yang di samping membawa manfaat, juga berpotensi merusak paham keagamaan moderat yang selama ini menjadi perekat sosial dalam kehidupan kita berbangsa dan bernegara.

Sejumlah praktik intoleran dapat ditemui dalam kehidupan beragama di Indonesia. Misalnya, penolakan kehadiran umat beragama lain di daerah tertentu karena merasa mayoritas, penolakan pendirian rumah ibadah, penolakan tradisi adat oleh kelompok kelompok umat. Contoh yang lain adalah munculnya politik identitas setiap menjelang pesta demokrasi sampai munculnya kelompok berideologi transnasionalisme.

Karena itu peran tokoh lintas agama diharapkan mampu menjadi jembatan penghubung perbedaan yang ada, dengan cara mendorong konsep moderasi beragama dengan baik, saling menghargai, saling melindungi, saling menebarkan cinta dan kasih sayang, yang bukan hanya sesama pemeluk agama tertentu tetapi lebih dari itu sesama pemeluk agama lainnya dan sesama antar ummat manusia. Dan itulah puncak tertinggi pengejawantahan dari nilai-nilai agama dalam kemanusiaan demikian pula sebaliknya nilai-niai kemanusiaan dalam beragama. (*)

  • Bagikan

Exit mobile version