Menggali Kesejatian (19): Terkikisnya Tradisi Khataman

  • Bagikan

Oleh: Hamdan Juhannis
Rektor UIN Alauddin Makassar

MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Masih tentang khataman Qur'an. Rupanya ada tradisi masyarakat Muslim selama ini yang bisa dianggap sebagai cara mempertahankan kemampuan membaca Qur'an di Masyarakat.

Pada setiap hajatan pernikahan, malam menjelang pernikahan kedua mempelai dilakukan sebuah proses "mappanre temme", bahasa lokal yang berarti khataman Qur'an. Caranya penghulu memimpin penamatan dengan memandu calon mempelai untuk menamatkan Qur'an dengan membaca surat-surat pendek yang biasanya dimulai dari Surat ad-Dhuha. Meskipun khatamannya secara simbolis, tetapi sudah cukup menjadi ukuran bahwa calon pengantinnya memiliki kemampuan mengaji.

Tradisi khataman ini memiliki beberapa makna. Pertama, bahwa siapa saja yang ingin memasuki kehidupan berkeluarga wajib bisa membaca Qur'an. Kehidupan berkeluarga akan menjadi kehidupan baru yang memiliki tantangan dan mengaji bisa menjadi penenang dari segala dinamika yang dihadapi.

Kedua, khatam ini menjadi ukuran kesiapan bagi kedua mempelai untuk mengambil tanggung-jawab membumikan Qur'an dalam kehidupan berkeluarga. Tradisi ini akan memastikan bahwa calon suami mampu menjadi imam shalat dalam keluarga, dan calon isteri akan mampu mengajar anak-anaknya kelak untuk belajar mengaji.

Ketiga, makna simbolis dari khataman ini adalah kedua mempelai sudah siap memegang tanggung jawab penuh karena khataman bermakna tamatnya pembacaan tentang kitab yang menjadi pedoman hidup, kitab yang menjadi referensi dalam berperilaku, kitab yang menjadi penuntun dalam mengarungi segala dinamika.

Sayangnya, tradisi khataman ini sudah mulai mengalami pelemahaman dalam prakteknya. Tradisi ini sudah diadaptasi yang membuatnya menjauh dari keaslian pesannya. Khataman terkadang hanya menjadi aksesoris belaka.

  • Bagikan