TAQWA TUJUAN PUASA: WARA’, Pelajaran Ketiga Taqwa

  • Bagikan
Prof. Dr. H. Muammar Bakry LC., M.Ag

Prof. Dr. H. Muammar Bakry LC., M.Ag

MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Tujuan puasa seperti yang tersebut dalam al-Qur’an agar kalian bertakwa. Predikat yang melekat kepada orang yang bertakwa dinamai “muttaqin”.

Teks ayat tidak menyebutkan gelar muttaqin, tapi disebutkan dalam bentuk kata kerja (fi’il mudhari’) yang bisa dimaknai sekarang dan akan datang. Memberi isyarat bahwa taqwa sebagai kegiatan hati, terus berlanjut sepanjang hayat manusia, dan terus diupayakan secara berkesinambungan.

Taqwa adalah tindakan yang dilakukan untuk menjaga diri dari hal yang dilarang. Menjauhi larangan itu dengan tidak mendekatinya, ada yang memaknainya sebagai wara’.

Wara’ adalah istilah yang sangat populer dalam Islam. Secara substansial searti dengan taqwa berarti menghindari larangan (yang diharamkan). Sekalipun ada yang memahami wara’ lebih dari sekedar taqwa, sebab taqwa menghindari yang dilarang, sementara wara’ menghindari yang dibolehkan.

Karena itu, ada yang pahami wara’ sebagai usaha menghindari yang halal agar terhindar dari yang tidak halal. Dengan kata lain, wara’ adalah meninggalkan perbuatan yang boleh untuk terjauh dari yang tidak boleh.

Beberapa riwayat tentang wara antara lain: dari Huzaefah bin al-Yaman, Nabi bersabda, kemuliaan ilmu lebih baik daripada ibadah, yang terbaik dalam agamamu adalah wara’.

Dalam pandangan agama, ada hal yang status hukumya tidak jelas (syubhat). Posisinya berada di antara halal dan haram. Menyikapi secara hati-hati hal yang syubhat dinamakan wara’. Dari Nu’man bin Basyir, Nabi Saw bersabda:“Sesungguhnya yang halal dan yang haram itu jelas. Dan di antara keduanya banyak hal-hal syubhat yang kebanyakan orang tidak mengetahuinya. Barangsiapa yang menjaga diri dari hal-hal yang syubhat maka ia telah membersihkan agama dan kehormatannya. (HR. Bukhari dan Muslim).

Terkait dengan kegiatan hati ini, Nabi saw bersabda: “Kebaikan adalah sesuatu yang jiwa merasa tenang dan hati merasa tenteram kepadanya, sedangkan dosa adalah sesuatu yang jiwa tidak merasa tenang dan hati tidak merasa tenteram kepadanya, sekalipun orang-orang memberikan berbagai komentar kepadamu (HR. Muslim).

Wara’ berdampak positif pada perilaku manusia dalam berbagai status sosial yang melekat padanya. Jika ia rakyat biasa, akan menjadi warga yang baik, taat pada hukum, dan karena itu stabilitas sosial akan selalu terjaga. Jika ia seorang pejabat yang wara’, maka ia akan menjadi pelopor kesederhanaan, tampil bersahaja, dan peduli pada kepentingan rakyatnya.

Jiwa yang wara’ memancarkan panca indera yang baik. Pikiran, penglihatan, pendengaran, perasaan dan seluruh jiwanya untuk kemaslahatan dan produktifitas yang bermanfaat bagi dirinya dan lingkungannya.

Seluruh tingkah lakunya dikalkulasi dan ditimbang berdasarkan asas manfaat. Maka tidak ada kegiatan yang sia-sia yang dikerjakan. Seluruh kegiatan, waktu dan hidupnya adalah pengabdian yang bernilai ibadah. Wara’ adalah pesan dan nilai tertinggi yang dicapai ibadah puasa.(*)

  • Bagikan