Oleh: Ahmad Razak, Dosen Fakultas Psikologi UNM
MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Bulan suci ramadhan adalah bulan di mana cahaya ibadah bersinar begitu terang, ia memberikan bias yang sangat kuat, laksana cahaya matahari menerangi bumi. Di awal ramadhan, masjid-masjid penuh sesak dengan jamaah seakan menjadi bukti bahwa umat begitu rindu pada Sang pencipta-Nya. Lantunan ayat suci menggema, doa-doa mengalun syahdu, dan malam-malam terasa begitu hangat dengan munajat yang penuh harap. Ironisnya, menjelang akhir ramadhan, suasana itu perlahan menjadi senyap, gelora ibadah yang sedari awal berkobar kini mulai redup.
Masjid yang tadinya berdesakan dengan jamaah, kini mulai menyisakan saf-saf yang semakin kosong. Tarawih yang di awal ramadhan terasa begitu semarak, kini hanya diikuti oleh segelintir orang yang masih setia. Lantunan dzikir khas dibulan suci ramadhan yang dulu memenuhi ruang-ruang masjid, kini tak lagi sekuat pekan-pekan sebelumnya. Pertanyaannya adalah apakah semangat ibadah ramadhan hanya bersifat sementara? Ataukah kita terlalu mudah tergoda oleh hiruk-pikuk dunia?
Kontras dengan suasana masjid yang semakin lengang, pusat-pusat perbelanjaan justru semakin sesak dan ramai dikunjungi. Mall-mall dipenuhi orang-orang yang berdesakan, berburu busana baru untuk hari raya. Hiruk-pikuk transaksi menggantikan kesyahduan dzikir, langkah kaki yang semestinya menuju tempat ibadah kini lebih banyak terayun ke gerai-gerai diskon. Anak-anak gen Z berada dicafe-café dengan gaya yang khas handphone ditangan, sambil minum kopi mereka bercengkrama dengan handphonenya. Seakan ada pergeseran fokus dari mendekatkan diri kepada Allah SWT menjadi perayaan duniawi yang begitu riuh.
Pada dasarnya fenomena ini bukanlah hal baru, karena selalu berulang dari ramadhan ke ramadhan. Awalnya spiritualitas ramadhan semangatnya membara namun perlahan-lahan meredup seiring akan berkhirnya ramadhan. Padahal, justru Rasulullah saw semakin meningkatkan ibadahnya di sepuluh malam terakhir. Beliau menghidupkan malam dengan shalat dan doa, mencari lailatul qadar yang lebih mulia dari seribu bulan. Ironisnya, umatnya kini justru sibuk dengan persiapan lebaran yang lebih berfokus pada tampilan casing, dan bukan kwalitas iman.
Tentu tidak salah merayakan Idulfitri dengan kebahagiaan, namun tidakkah kita perlu merenung? Bukankah lebih utama menyiapkan diri menyongsong hari kemenangan dengan hati yang bersih dan ruh yang penuh cahaya? Apalah gunanya pakaian baru jika hati tetap lama, masih dipenuhi debu-debu duniawi? Apalah artinya perayaan jika ramadhan berlalu tanpa membawa perubahan dalam diri?
Sepuluh malam terakhir adalah kesempatan emas yang tak ternilai. Di dalamnya tersimpan malam penuh keberkahan, malam di mana doa dikabulkan, di mana para malaikat turun membawa kedamaian. Betapa meruginya jika kita justru menyia-nyiakannya demi hal-hal yang fana. Tidakkah kita ingin menutup ramadhan dengan gemilang, bukan dengan penyesalan?
Sudah saatnya kembali menggelorakan ibadah di penghujung ramadhan. Menundukkan hati, menata niat, dan kembali melangkahkan kaki ke masjid. Berpuasa dan mendirikan qiyamu ramadhan dengan iman dan ihtisab agar dosa-dosa yang lalu terampuni. Seyogyanya kita menghiasi malam-malam terakhir ini dengan istighfar, doa, dan harapan agar Allah SWT menerima amalan kita dan mengampuni dosa-dosa kita.
Ramadhan tak seharusnya berakhir hanya sebagai kenangan. Ia seharusnya meninggalkan jejak-jejak spiritual yang mendalam, yang membawa perubahan nyata dalam kehidupan kita. Jika semangat ibadah mulai surut, mari kita segera menyalakannya kembali. Jangan biarkan kesibukan dunia mengalahkan kita dari tujuan sejati yaitu meraih ridha Ilahi.
Sebentar lagi ramadhan akan pergi, meninggalkan kita. Apakah ramadhan akan meninggalkan dengan ampunan dan keberkahan atau hanya kelahan semata? Apakah kita akan menjadi sosok yang meratapinya dengan kehilangan, atau berbahagia karena telah memanfaatkan momentum ramadhan dengan baik? Jawabannya sangat tergantung langkah-langkah kita di sisa hari yang berharga ini. Nabi Muhammad SAW bersabda: Kam min saimin laisa lahu min siyamihi illal ju’I wal atasy. Artinya: berapa banyak orang yang berpuasa namun tidak memeroleh apa-apa dari puasanya kecuali lapar dan haus saja (HR. Imam Ahmad).