MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Krisis global sudah di depan mata dengan kebijakan Presiden Trump yang disebutnya “Hari Pembebasan”. Trump mengumumkan penerapan tarif sebesar 10 persen atas semua produk impor yang masuk ke Amerika Serikat. Para ekonom dan pengamat mengingatkan kita pada momen kritis dalam ekonomi dunia yang terjadi hampir 100 tahun lalu yang menjadi cikal bakal meletusnya perang dunia kedua.
Mungkin terlalu dini kalau membandingkan kejadian seratus tahun lalu dengan kondisi terkini, tapi sebagai pertanda awal perang tarif yang merupakan cikal bakal PD kedua, tidak salah jika kita mempersiapkan diri dari kemungkina terburuk yang melanda negeri kita.
Apalagi di awal tahun 2025 telah terjadi gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) massal, yang pada akhirnya akan meningkatkan pengangguran dan menurunnya daya beli masyarakat. Tentu saja kita masih menduga apakah PHK tersebut akibat tidak sehatnya internal sebuah perusahaan, ataukah masalah struktural yang lebih besar dalam perekonomian nasional, dalam hal ini kebijakan dari pengelola negara?
Namun banyak pula pengamat yang memberikan argumen, jika terjadinya PHK massal buka disebabkan oleh satu faktor tunggal. Melainkan gabungan dari berbagai dinamika ekonomi di dosmetik maupun global.
Sebaiknya pemerintah harus bertindak cepat mengambil langkah strategis. Salah satunya menertibkan ormas yang menganggu perusahaan dan mempermudah iklim investasi termasuk persoalan perijinan yang cepat dan berbiaya murah. Negara tetangga kita seperti Vietnam telah terbukti berhasil menggaet investor yang terlebih dahulu beroperasi di Indonesia.
Momentum pilkada serentak sebaiknya dijadikan awal untuk berbenah dalam segala lini. Pemimpin yang telah dihasilkan dari pemilihan langsung telah mengikuti retret yang menurut penulis adalah ajang pembekalan untuk mendapatkan wawasan dan inspirasi untuk kemudian diterapkan di daerah masing-masing.
Share dalam diskusi kelompok bisa dijadikan ajang pertukaran ide dan gagasan dalam memecahkan persoalan yang dihadapi daerah. Apalagi situasi sekarang pemerintah melakukan pengetatan anggaran yang bertujuan meningkatkan efisiensi belanja negara serta mengurangi defisit anggaran dengan memangkas berbagai pos pengeluaran di kementerian dan Lembaga pemerintahan.
Namun apakah pejabat selaku pelaksana dari pengetatan sudah menjalankan amanah tersebut? Jangan hanya sebatas janji dan slogan populis semata. Misalkan, di beberapa daerah masih saja terdapat pemborosan, seperti pengadaan mobil dinas yang seharusnya belum perlu sebab mobil sebelumnya masih sangat layak, renovasi rumah dinas pejabat dan belanja makan-minum tanpa manfaat nyata bagi masyarakat.
Semoga alarm PHK dan tekanan ekonomi Indonesia yang dialami cepat berlalu dengan adanya tindakan nyata dari pemerintah. Kepala daerah yang baru saatnya menunjukkan diri mampu mengatasi ancaman ekonomi yang saat ini terlihat.
Sekaligus bagaimana merealisasikan program kerja mereka dengan mengimplementasikan visi dan misi saat mereka berkampanye. Inovasi dan kreativitas mereka mutlak dilakukan untuk bisa menggenjot potensi ekonomi daerah yang dipimpinnya.
Pemimpin yang mampu membuat inovasi dan memastikan proses pembangunan yang dijalankan tidak merugikan kelompok kelompok tertentu ( perempuan , anak , disabilitas , lansia ). Akibat pemotongan anggaran yang tidak memperhatikan kepentingan kelompok marginal dapat mengakibatkan terjadinya ketidakadilan bagi sebagian warga negara. (*)