Oleh: Akbar Endra
KEMBALINYA Donald Trump dalam kontestasi politik Amerika Serikat menimbulkan resonansi besar di panggung global. Dengan pendekatan ekonomi yang dikenal agresif dan proteksionis, Trump bukan hanya mengubah wajah kebijakan domestik AS, tetapi juga menciptakan efek domino yang menghantam perekonomian negara-negara berkembang, termasuk Indonesia.
Slogan “America First” yang kembali digaungkannya mengisyaratkan bahwa arah kebijakan AS ke depan kemungkinan besar akan kembali menutup diri dari perdagangan bebas. Indonesia tidak bisa tinggal diam. Kita harus bersiap menghadapi potensi badai, sekaligus sigap menangkap peluang.
Dampak Langsung ke Indonesia
Pertama, kebijakan proteksionisme yang diusung Trump bisa menekan ekspor Indonesia. Produk unggulan seperti tekstil, alas kaki, dan produk karet yang selama ini masuk ke pasar AS dapat terancam kena tarif. Namun di sisi lain, pesaing utama kita seperti China, Vietnam, dan Bangladesh kemungkinan akan menghadapi tarif yang lebih tinggi. Di sinilah celah itu muncul—Indonesia bisa menjadi alternatif jika mampu menjaga kualitas dan efisiensi produksinya.
Kedua, jika kebijakan fiskal Trump kembali bersifat ekspansif—seperti penurunan pajak dan peningkatan belanja infrastruktur—ini bisa mendorong penguatan dolar AS. Implikasinya, rupiah berisiko tertekan dan potensi capital outflow dari pasar modal Indonesia meningkat. Investor asing cenderung mencari pasar yang lebih aman dan menguntungkan, dan ini harus diwaspadai.
Ketiga, perang dagang antara AS dan Tiongkok bisa kembali mencuat. Meski berdampak pada stabilitas global, justru ini bisa menjadi peluang bagi Indonesia untuk mengambil peran dalam rantai pasok baru dunia. Sejumlah investor mungkin akan mencari alternatif dari China, dan ASEAN—terutama Indonesia—berpotensi besar menjadi pilihan utama. Namun, kesiapan infrastruktur, birokrasi, dan kualitas tenaga kerja menjadi kunci.