Kerinduan Primordial

  • Bagikan
Darussalam Syamsuddin

Oleh: Darussalam Syamsuddin

MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Ibarat kompetisi dalam kehidupan, umat Islam telah menjalani serangkaian ibadah sesudah Idulfitri. Di antaranya mereka melakukan puasa Syawal untuk melestarikan pesan Ramadan untuk selalu menahan diri dari segala bujuk rayu hawa nafsu agar pesan Ramadan tidak hilang dengan berlalunya bulan yang menjadi tempat atau madrasah yang menggembleng jiwa hewani menuju keutamaan sebagaimana pesan Nabi, “Siapa saja yang berpuasa 6 hari di bulan Syawal, ibarat berpuasa sepanjang tahun”.

Jika Idulfitri mengandung nilai-nilai universal yakni nilai yang dikenal oleh seluruh umat Islam di dunia. Di Indonesia umat Islam mengenal tradisi Lebaran yakni nilai-nilai lokal yang mereka lakukan selepas Idulfitri berupa kegiatan maaf-memaafkan atau halalbihalal.

Disebut sebagai halalbihalal yakni saling menghalalkan dalam konteks hubungan sosial. Jika Anda pernah melalaikan salat atau bermaksiat kepada-Nya, maka salat malam, puasa, bacaan Al-Qur'an, sedekah, akan menghapus kesalahan kepada-Nya.

Namun, jika Anda menyakiti hati orang tuamu, sahabatmu, teman sejawatmu, tetanggamu, atau siapa saja yang memiliki relasi sosial dengan Anda, maka seluruh ibadah yang Anda lakukan di bulan Ramadan tidak akan menghapus kesalahan Anda. Bahkan kesalahan-kesalahan itu akan menghapus seluruh pahala ibadah yang Anda telah lakukan.

Allah tanpa melalui peristiwa Idulfitri, menyiapkan empat sifat pemaaf-Nya: At-Tawwab (Maha menerima taubat), Al-Afuwu (Maha memaafkan), Al-Gafur dan Al-Gaffar (Maha mengampuni). Bagaimana mungkin manusia memiliki kepantasan untuk tidak memaafkan sesamanya?

Karena itu, dalam Islam memaafkan lebih utama dari pada menunggu orang lain mengulurkan tangan memohon maaf. Meraih keutamaan dari saling menghalalkan menuju kemuliaan.

Silaturahmi atau dalam bahasa aslinya silaturahim merupakan perintah kedua sesudah takwa. Seperti yang tercantum dalam Al-Qur'an: “Bertakwalah kamu kepada Allah dan pelihara silaturahim” (QS. An-Nisa’/4: 1).
Demikian pentingnya tentang ajaran silaturahim sehingga Allah menyebut dalam hadis Qudsi: “Aku-lah yang Maha pengasih, Aku beri nama tali kekeluargaan itu dengan Nama-Ku sendiri (Ar-Rahim). Siapa yang menyambung silaturahim, akan Aku sambungkan rahmat-Ku kepadanya, dan siapa yang memutuskan silaturahim akan Aku putuskan rahmat-Ku kepadanya”.

Mereka yang menjalin silaturahim akan memperoleh keutamaan di akhirat karena dapat berkumpul dengan keluarga, orang tua, dan anak-anak mereka di tempat yang paling utama yakni surga ‘Adn sebagai tempat kembali yang paling baik.

Mereka berkumpul dengan generasi terdahulu (abaihim), generasi sezaman (wa-azwajihim), generasi yang akan datang (wa-zurriyatihim). Keutamaan itu mereka peroleh dikarenakan mereka menyambung apa yang diperintahkan oleh Allah untuk disambung yakni silaturahim. (QS. Ar-Ra’d/13 : 21).

Perintah Al-Qur'an untuk menjalin silaturahim tidak hanya di alam fisik (nasut), melainkan juga di alam ruhaniah (malakut). Karenanya, silaturahim tidak cukup hanya bersalam-salaman. Melainkan berusaha untuk menggabungkan ruh kita dengan para nabi dan rasul dan orang-orang saleh sepanjang sejarah.

Tidakkah dalam salat umat Islam membaca tahiyat? Dengan menyampaikan salam kepada para nabi dan rasul serta orang-orang saleh sepanjang sejarah. Demikian pula memberi salam ke kanan dan ke kiri sebagaimana yang dilakukan ketika mengakhiri salat. Semua itu dimaksudkan untuk menggabungkan ruh kita dengan para Nabi dan Rasul serta orang-orang saleh sepanjang sejarah.

Keinginan untuk kembali kepada Allah adalah kerinduan setiap orang, hanya saja dalam hidup senantiasa bingung arah mana yang akan ditempuh untuk kembali kepada-Nya. Allah sendiri bertanya kepada kita semua “fa aina tashabun” (ke arah mana engkau akan pergi).

Kita semua seharusnya menjawab seperti jawaban Ibrahim ‘Alaihisalam, “Sesungguhnya aku menuju kepada Tuhan, dan Tuhan-ku akan memberi petunjuk kepadaku” (QS. As-Saffat/37 : 99). Semoga kita semua dapat kembali kepada-Nya dengan radhiyatan mardiyah (dengan ridha dan diridhai). (*)

  • Bagikan

Exit mobile version