Janji Kampanye

  • Bagikan
Ema Husain Sofyan

Oleh: Ema Husain Sofyan

MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Dalam perhelatan pesta demokrasi; pemilihan legislatif, pemilihan presiden, pemilihan kepala daerah, dan pemilihan kepala desa, sering tampak menjanjikan angin segar bagi sistem demokrasi. Calon atau kandidat dengan penuh percaya diri dan semangat berkobar menyampaikan janji-janji kampanye berupa pendidikan gratis, kesehatan gratis, lapangan kerja infrastruktur, pemberdayaan lanjut usia dan kohesi sosial. Serta janji-janji “partai” lainnya.

Janji partai identik dengan janji saat kampanye yang tidak pernah terealisasikan sampai si penjanji berakhir masa jabatannya. Dalam pergaulan sehari kadang kita menjadikan candaan dengan mengatakan “janji parpol lagi ini” bagi teman yang menjanjikan sesuatu.

Bahkan dalam Pileg dan Pilkada, dari sekian tahapannya yang utama adalah tahapan kampanye. Namun bagi sebagian masyarakat hal tersebut, bukan sesuatu yang penting. Sebab hal tersebut adalah rutinitas lima tahunan belaka yang belum pasti memberikan dampak langsung terhadap perbaikan kehidupan mereka.

Bukan tanpa sebab, kekecewaan akibat janji pemilu yang tak kunjung pernah menjadi kenyataan. Masyarakat kemudian menjadi apatis dan tidak lagi melihat program kerja calon, tapi apa yang calon berikan secara langsung bagi pemilih.

Janji politik sebenarnya adalah visi misi dan program calon yang disampaikan pada saat masa kampanye. Secara etika janji politik seharusnya bisa ditagih oleh masyarakat. Sekalipun untuk menempuh jalur hukum agar janji kampanye dapat terealisasikan belum ada prosedur hukum yang paten.

Sebab, janji tersebut hanya diucapkan tanpa ada kontrak politik seperti halnya kontrak perdata lainnya. One prestasi menjadi tidak berlaku bagi warga untuk mendesak pen janji memenuhi kewajibannya. Apalagi mau di pidanakan, tentu saja tidak memungkinkan.

Sebab kampanye atau janji politik disampaikan dalam momentum pidato politik atau orasi. Yang konteksnya berbeda dengan bentuk komunikasi lain, seperti pelatihan atau seminar yang memerlukan penjelasan lengkap dan disertai sesi tanya jawab.

Dalam sistem ketatanegaraan ada prinsip saling mengimbangi atau check and balances antara legislatif dan eksekutif. Sehingga anggota parlemen bisa menjadi medium untuk menyampaikan aspirasi kita memenuhi janji kepala daerah dan wakil kepala daerah. Demikian pula bagi anggota dewan yang belum memenuhi janjinya bisa disuarakan pada saat reses.

Konsekuensi terburuk bagi para pengingkar janji adalah dengan tidak lagi memilih yang bersangkutan dalam pesta demokrasi berikutnya. Namun warga juga harus bijak dalam menyikapi. Mengapa janji politik masih ada yang belum terlaksana?

Bisa jadi memang prosedur untuk menerapkan butuh kajian dan rancangan yang cermat, butuh kajian mendalam dan tentu saja anggarannya tidak sedikit. Dan sebab lainnya yang mestinya dikomunikasikan pada konstituen.
Penulis jadi teringat anekdot yang pernah dilontarkan oleh kepala daerah di Kota Makassar yang terkenal tegas dan humoris, yang pernah mengatakan: “Masak saya penuhi lagi janjiku, padahal syukur maki saya sudah janji”.
Bagi kepala daerah dan wakil kepala daerah terpilih, masih banyak waktu tersisa untuk merealisasikan janji kampanye saat masa kampanye pilkada. (*)

  • Bagikan

Exit mobile version