Oleh: Babra Kamal
Peneliti di Spatial Society of Indonesia
MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Hari ini, ketika dunia memperingati Hari Bumi—sebuah momen yang biasanya dipenuhi dengan harapan dan seruan untuk menjaga planet ini—kita justru diselimuti duka mendalam. Paus Fransiskus, pemimpin spiritual bagi lebih dari satu miliar umat Katolik dan suara moral bagi seluruh dunia, telah berpulang.
Kepergiannya meninggalkan kekosongan yang sunyi. Bukan hanya di Vatikan, tetapi juga di hati umat manusia yang selama ini menyimak, menyerap, dan mencoba meneladani ajaran-ajarannya yang penuh welas asih.
Paus Fransiskus, yang lahir dengan nama Jorge Mario Bergoglio di Buenos Aires, Argentina, telah menjadi paus pertama dari benua Amerika dan juga yang pertama memilih nama Fransiskus, terinspirasi oleh Santo Fransiskus dari Assisi—pelindung para makhluk ciptaan dan pecinta bumi.
Pilihan nama itu bukan sekadar simbolik, tapi merupakan penanda jelas arah pastoral yang akan ia tempuh: kesederhanaan, kepedulian terhadap yang terpinggirkan, dan cinta yang mendalam kepada ciptaan Tuhan. Dia adalah seorang Jesuit. Orang mengenal Katolik dari luar seringkali mengira bahwa Katolik itu identik dengan Jesuit.
Ordo Jesuit
Mengutip Made Supriatma dalam obituarinya, Serikat Jesus atau Jesuit hanyalah satu dari ribuan Kongregasi atau Ordo dalam gereja Katolik. Ia baru berdiri tahun 1540 oleh Ignatius dari Loyola, seorang ningrat dari tanah Basque (Spanyol) untuk melakukan reformasi di dalam tubuh geraja. Jesuit sebenarnya adalah jawaban terhadap Reformasi-mulai dari Martin Luther di Jerman.
“Serikat Jesus didirikan dengan semangat untuk mengembalikan arah gereja dari korupsi dan salah urus yang mendalam. Bahkan yang lebih penting lagi sebenarnya Jesuit adalah jawaban terhadap perubahan dunia, yang saat itu mulai bergerak ke arah kapitalis-merkantilis. Tata dunia kapitalis memerlukan pendidikan seperti yang kita kenal dalam sistem persekolahan sekarang ini. Itulah sebabnya, Jesuit sangat menekankan pada pendidikan,” lanjut Bli Made.
Bagi banyak orang, Paus Fransiskus bukan hanya pemimpin gereja, tapi juga seorang ayah, sahabat, dan nabi yang berbicara dengan kasih. Ia memilih tinggal di wisma sederhana daripada Istana Apostolik. Memilih mendekat kepada mereka yang terbuang daripada berjarak dengan protokol. Ia hidup dalam kesederhanaan yang mendalam, mencerminkan imannya bukan hanya dalam doa, tetapi dalam tindakan nyata.
Warisan Pemikiran
Di antara banyak warisan pemikiran dan aksi Paus Fransiskus, salah satu yang paling menggema dan akan terus hidup bahkan setelah kepergiannya adalah konsep tobat ekologis. Dalam ensiklik terkenalnya, Laudato Si’ (2015), ia mengajak dunia untuk berhenti memperlakukan bumi seperti "gudang sumber daya" dan mulai melihatnya sebagai rumah bersama yang rapuh, indah, dan sakral.
Ia menulis dengan kelembutan namun penuh desakan moral, menyentuh nurani banyak orang—dari pemimpin negara hingga anak-anak sekolah.
Tobat Ekologis menurut Paus Fransiskus, bukanlah gerakan sesaat, melainkan pertobatan batin yang menyeluruh. Ia mengajak umat manusia untuk mengubah gaya hidup, sistem ekonomi, dan pola pikir yang selama ini mengeksploitasi alam.
Ia berbicara tentang dosa terhadap ciptaan, tentang ketidakadilan ekologis yang paling dirasakan oleh kaum miskin, dan tentang keharusan untuk mendengarkan “jeritan bumi dan jeritan kaum papa”.
Lebih dari sekadar dokumen teologis, Laudato Si’ adalah surat cinta dan peringatan. Paus Fransiskus tidak hanya menunjuk pada krisis lingkungan, tapi juga menggugah kesadaran bahwa persoalan ekologis saling berkait dengan persoalan sosial, ekonomi, dan spiritual. Ia menyerukan dialog lintas agama, lintas ilmu, dan lintas generasi—sebuah panggilan universal untuk bertindak bersama demi masa depan bumi.
Kini, suara lembut namun tegas itu telah terdiam. Namun gema pesannya akan terus hidup. Dalam kepergiannya, Paus Fransiskus meninggalkan lebih dari sekadar warisan dokumen dan pidato; ia meninggalkan arah moral dan spiritual yang akan membimbing banyak generasi ke depan dalam perjuangan menjaga ciptaan.
Kepergiannya bertepatan dengan Hari Bumi seakan mengikat erat kisah hidup dan visinya: bahwa bumi ini, rumah kita, pantas untuk diperjuangkan. Ia pernah berkata bahwa "hidup di bumi ini berarti merawat rumah bersama kita." Maka dalam kesedihan ini, kita pun diajak untuk tidak tinggal diam. Menjaga bumi kini adalah bagian dari menghormati dan melanjutkan warisan Paus Fransiskus.
Hari ini kita mestinya merayakan bumi. Tapi dunia malah kehilangan salah satu suara terbesarnya, pemimpin gereja Katolik yang sederhana, hangat, dan penuh kasih ini wafat tepat di Hari Bumi. Seakan semesta mengingatkan kita bahwa ia bukan sekadar tokoh agama, tapi juga pejuang lingkungan yang tidak kenal lelah.
Lewat ensiklik Laudato Si’, Paus Fransiskus mengajarkan kepada kita tentang tobat ekologis—bahwa menjaga bumi itu bukan cuma urusan aktivis, tapi panggilan moral dan spiritual. Bumi bukan milik kita semata, tapi rumah bersama yang harus dirawat dengan cinta. (*)