Oleh: Darussalam Syamsuddin
MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Alkisah Nabi Nuh alaihisalam ketika berdakwah kepada kaumnya selama 950 tahun ia habiskan untuk menyampaikan kebenaran Tuhannya. Namun tidak banyak orang yang mengikutinya, termasuk istri dan anaknya pun mengingkari hal yang disampaikan Nuh kepada kaumnya. Riwayat menyebutkan bahwa Tuhan mengilhamkan kepada Nuh agar membuat bahtera (perahu) karena keingkaran kaumnya akan membawa malapetaka.
Nuh alaihisalam kemudian mengajak kaumnya untuk naik di perahu yang dibuatnya, karena yakin azab Allah akan datang. Hanya orang-orang yang taat kepada Nuh yang naik ke perahu itu, sementara umatnya yang lain tidak mau bahkan mengejek dan menertawakan ajakan Nuh termasuk istri dan anaknya tidak mau mengikuti ajakan Nuh. Bahkan dengan angkuh istri dan anaknya berkata kepada bapaknya, untuk apa naik ke perahu itu kalau banjir datang kami akan berlari menuju bukit yang tinggi itu sambil menunjuk ke arah sebuah gunung.
Ketika Nabi Nuh alaihisalam menaiki perahu, dan ke dalam perahu itu berbagai makhluk masuk secara berpasang-pasangan, tiba-tiba Nuh melihat salah seorang di antaranya orang tua yang tak dikenal. Orang itu tidak memiliki pasangan, orang tua itu adalah setan.
Nabi Nuh kemudian bertanya “Untuk apa kamu masuk kemari?” Orang itu menjawab, “Aku masuk kemari untuk memengaruhi sahabat-sahabatmu supaya hati mereka bersamaku, sementara tubuh mereka bersamamu.” Seperti cerita dalam sebuah novel tentang seorang istri yang tubuhnya bersama suaminya, tetapi hatinya bersama the other man (lelaki lain).
Dalam Islam, perempuan seperti ini dihitung berzina, meskipun berzina dengan hatinya. Kita pun sering menghadapi hal seperti itu. Kita hadapkan tubuh kita kepada Allah, tetapi hati kita tidak bersama-Nya. Itu sering terjadi; dan itu karena setan.
Kemudian, Nabi Nuh alaihisalam berkata, “Keluarlah kamu dari sini, hai musuh Allah, kamu terkutuk!” Iblis itu berkata kepada Nabi Nuh, “Ada lima hal yang dengan kelimanya aku membinasakan manusia. Akan kuberitahukan yang tiga, dan kusembunyikan yang dua.”
Allah mewahyukan kepada Nabi Nuh: “Katakan, aku tidak membutuhkan yang tiga, aku membutuhkan yang dua.” Maka Nuh bertanya, “Apa yang dua itu?” Iblis menjawab, “Dua hal yang membinasakan manusia itu adalah keinginan yang berlebihan dan kedengkian.” Karena kedengkian inilah, aku dilaknat sehingga menjadi terkutuk. Karena keinginan yang berlebihan juga, Adam dan Hawa tergoda untuk menuruti keinginannya.” Inilah yang disebut al-hirsh dan al-hasad (Ambisi dan kedengkian).
Selain itu, marah dan syahwat (al-ghadhab wa al-syahwah) juga dapat membinasakan manusia. Yang dimaksud syahwat di sini adalah dorongan untuk mengejar kenikmatan fisik. Syahwat bisa mencelakakan manusia, bisa menggiring manusia pada kebinasaan.
Demikian halnya dengan marah (ghadhab). Pada zaman Rasulullah saw., salah seorang sahabat menemui beliau, “Ya Rasulullah, saya ingin menghafal hadismu. Coba beritahukan kepadaku satu hadis saja yang tidak terlalu panjang agar aku dapat menghafalnya.”
Nabi bersabda, “La taghdhab, jangan marah.” Sahabat itu pulang dengan menghafal hadis itu. Setelah hafal, ia kembali untuk meminta hadis lain. Nabi bersabda, La taghdhab, jangan marah.” Nabi menyebut hadis itu sampai tiga kali. Sahabat itu lalu berkata, “Aku memikirkan mengapa Nabi saw. menyebut hadis itu sampai tiga kali. Tiba-tiba aku memahami sesungguhnya marah itu bisa mengumpulkan seluruh kejelekan.”
Jika seseorang telah marah, seluruh kejelekan bisa dia undang masuk ke dalam dirinya. Ia misalnya, akan berbicara kasar. Bicara kasar merupakan sebuah kejelekan. Seorang mukmin tidak mungkin berbicara kasar dan mengucapkan kata-kata yang tajam yang menusuk perasaan, memaki-maki, mengeluarkan kata-kata kotor. Seluruh hal yang tidak mungkin itu akan menjadi mungkin bila seseorang marah, seluruh keburukan akan keluar dari dirinya. Kemarahan itu akan membawa pelakunya pada kebinasaan. (*)