Oleh: Ema Husain Sofyan
MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi atau yang akrab disapa KDM (Kang Dedi Mulyadi) belakangan ini menjadi sorotan publik. KDM menjadi media darling, baik cetak maupun online serta hampir semua platform media sosial.
Dampaknya adalah KDM menjadi buah bibir di mana-mana. Bahkan dalam interaksinya dengan masyarakat Jabar di medsos, tidak sedikit masyarakat yang mendoakan KDM untuk menjadi Capres 2029 mendatang.
Bukan tanpa sebab, masyarakat Jabar melihat sosok KDM sebagai oase di tengah terdegradasinya sosok pemimpin yang berbaur dalam masyarakat. Terobosannya yang tidak biasa dan cenderung kontroversial namun oleh masyarakat umum dianggap efektif.
Tidak heran setelah KDM memposting kegiatannya maka tanggapan pro dan kontra menjadi marak di medsos. Tentu dengan argumen masing-masing. Lihat pro dan kontra soal siswa nakal dimasukkan barak militer, vasektomi menjadi syarat untuk mendapatkan bansos, penghapusan dana hibah pondok pesantren, penghapusan studi tour dan wisuda serta masih banyak lainnya.
Program KDM dikenal masyarakat luas, khususnya warga Jabar akibat peran dari media massa dan media sosial. Jangan lupa mantan Presiden Jokowi dulunya juga dikenal sebagai figur yang dikenal luas juga akibat peran media.
Bahkan obrolan warung kopi sudah menduetkan dua kepala daerah yang saat ini sangat popular, yaitu KDM dari wilayah barat dan Sherly Tjoanda Gubernur Maluku Utara sebagai representasi Indonesia bagian timur. Tentu saja hal tersebut terlalu dini bagi elite dan parpol untuk membicarakan hal tersebut. Namun fenomena ini sebagai awal bagi parpol untuk memotret bakal calon pemimpin Indonesia 2029 mendatang.
Sama halnya dengan KDM, Sherli juga dikenal sebagai gubernur yang dekat dan memperhatikan apa yang menjadi kebutuhan mendasar masyarakat Maluku Utara.
Penulis bukan mengatakan KDM dan Sherly sebagai kepala daerah terbaik, tapi saat ini masyarakat mendukung langkah yang dilakukan kedua kepala daerah tersebut, dengan menyebar kegiatan yang dilakukan di media sosial.
Sebab beberapa pengamat ada juga yang tidak senang dengan model kepemimpinan KDM. Yang dianggap sebagai one man show. Padahal seharusnya seorang pemimpin itu membangun sebuah sistem untuk menjadi role dalam menjalankan roda pemerintahan. Jadi siapapun yang menjadi gubernur kelak, sistem yang ada menjadi tools untuk menjalankan program-programnya.
Setiap pemimpin memiliki gaya yang berbeda dalam mengimplementasikan visi dan misinya. Pemimpin yang juga kebanyakan dari politikus tentu saja memanfaatkan situasi masyarakat yang menginginkan pemimpin yang populis dan mampu menyentuh hati masyarakat yang dipimpinnya.
Banyak negara yang maju dan sejahtera dengan pemimpin yang juga berbeda dalam style kepemimpinannya. Namun sistem di negara tersebut telah mapan, hingga siapapun yang memimpin akan mampu untuk menjalankan semua program yang telah dikampanyekan dalam tahapan pemilihan. (*)