Oleh: Babra kamal
Penulis Novel Debutan
MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Novel bagi sebagian besar masyarakat kita semacam mahluk asing. Saya bahkan baru membacanya ketika duduk dibangku perguruan tinggi. Biasanya kita akan menemukannya hanya dalam pelajaran bahasa Indonesia. Sebut saja novel Siti Nurbaya karya Marah Rusli, Salah Asuhan karya Abdul Muis, dan Tenggelamnya Kapal Van der Wijck karya Sutan Takdir Ali Syahbana.
Alih-alih mengenal dan mendekatkan karya sastra kepada pembaca, novel sering kali mendapat streotyping sebagai bacaan ‘panas’ seperti yang mengemuka pada karya Anni Arrow atau Fredie S., yang populer di tahun 80-90-an. Dibanding genre lainnya seperti puisi dan cerpen, novel adalah bentuk.
Walaupun sempat dipercaya mengkatalog buku saat di sekolah menengah pertama, namun buku yang tersedia hanyalah buku pelajaran. Di SMA agak sedikit membaik dengan koleksi beberapa karya sastra namun sepertinya saya lebih tertarik pada kegiatan lain di sekolah seperti pramuka dan berusaha membuat band yang tentu saja tak pernah berhasil.
Jadi apa yang membuat saya tertarik pada makhluk yang bernama novel itu? Tak lain dan tak bukan adalah novel Bumi Manusia karya Pramudya Ananta Toer yang tergeletak di sekretariat sebuah organisasi buruh, saya menjangkaunya, membolak balik halamannya lalu hikmad membacanya.
Suatu waktu seorang wartawan muda dari tabloid kampus datang menghampiri di sebuah siang di kantin kampus tempat kami berjanji bertemu. Ia bermaksud mewawancari saya untuk sebuah rubrik –semacam rubrik sosok di halaman akhir koran Kompas. Ia mewawancarai saya seputar aktivisme saya di kampus. Panjang lebar saya jelaskan di hadapan alat perekam yang ia simpan di atas meja, sambil sesekali menenggak kopi hitam.
Pertanyaan terakhir wartawati muda itu menghentikan sejenak kata-kata yang sejak tadi mengalir deras dari mulut saya. Ia bertanya “apa, sih, sebenarnya cita-cita kakak?” Karena saya tak langsung merespons, ia menambahkan pertanyaannya : “kakak kuliah di jurusan perikanan tetapi aktif dalam mengadvokasi masyarakat miskin?”
Tapi, entah apa yang ada dipikiran saya saat itu? Apa karena pengaruh kopi yang saya tenggak sehingga kata-kata melucur begitu saja, “saya ingin jadi novelis atau sutradara”. Kata-kata memang berbahaya kalau tak mau dikatakan bertuah. Apalagi itu tercetak di koran seperti kata para filsuf posmo Derrida bahwa tak ada yang di luar teks.
Beratahun-tahun kemudian karena aktivitas unjuk rasa yang intensitasnya kadang di luar nalar itu, ketika kami akan melancarkan aksi ada semacam pembagian tugas di dalamnya seperti menanggung jawab menulis rilis (pernyataan sikap) tentang isu yang kami angkat. Tugas itu saya ambil karena sepertinya tak terlalu berat dengan hanya modal ngetik dan mencari sumber-sumber yang menguatkan isu di warnet.
Setelahnya saya jadi kepincut menulis. Kini tak hanya lagi rilis atau selebaran tapi juga mulai mencoba mengirim tulisan ke media massa lokal. Saya melompat ketika tahu tulisan saya masuk kolom opini salah satu koran terkemuka di Makassar.
Di tengah menyeruaknya virus Covid-19 yang melanda hampir seluruh sudut bumi, saya sudah bertekad untuk membawa semua barang dan kembali ke kampung mengelola sebidang tambak warisan almarhum kakek. Ide itu tentu saja tidak tidak pernah benar–benar terealisasi. Saya hanya takut dan lari dari serbuan virus itu dari kota ke desa.
Pembatasan sosial sedang diberlakukan termasuk warung kopi sebagai ruang interaksi. Kami pencinta kopi harus kucing-kucingan dengan aparat yang kadang datang berpatroli memantau aktivitas warga. Di sela putaran slot dan teriakan kawan ketika si Kakek Merah berbaris rapi di layar dan super win yang serupa hujan emas, saat itulah kalimat pertama novel itu dimulai.
Ide itu mendesak-desak untuk dituliskan menimbulkan gaung di kepala. Akhirnya saya menyerah dan membiarkannya mengalir. Sembari tetap berusaha menyambung hidup lewat beberapa kali panggilan menjadi pembicara sosialisasi legislator kota.
Hingga tiga tahun kemudian jadilah draft kasar pertamanya yang sepertinya masih sangat mentah. Sebagai orang yang membaca karya-karya sastra pemenang lomba di event nasional semacam Dewan Kesenian Jakarta atau Kusala Sastra Khatulistiwa, draf pertama saya tulis masih jauh dari harapan. Butuh kurang lebih dua tahun untuk menyelesaikan draf keduanya yang sepertinya tidak lagi hanya sekadar kerangka tapi sudah mulai ditumbuhi otot dan mulai mewujud selayaknya manusai.
Dan sisa beberapa bulan yang tersisa saya gunakan untuk proses editing yang juga tentu saja sangat penting. Seperti mungkin manusia novel itu sudah memakai pakaian selayaknya manusia beradab.
Sebagai orang menyukai sejarah sejak bangku sekolah rendah saya mencoba menuliskan apa saya yang mungkin terendap di dalam pikiran termasuk bacaan-bacaan dan cerita oral masyarakat yang pernah singgah di telinga, juga adegan-adegan sinema silat Wuxia dan film kolosal tontonan yang mengiringi sejak usia remaja tak bisa saya tampik turut memberi andil lahirnya novel yang semoga bukan jadi novel pertama sekaligus terakhir. (*)