Oleh: Babra Kamal
Peneliti di Spatial Society of Indonesia
MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Siang itu saya bergegas menuju titik pertama. Rumah kopi yang ternyata diasuh seorang senior jauh dari kampus merah. Saya kira saya sudah terlambat tapi ternyata diskusinya belum dimulai. Peserta yang berkumpul baru beberapa orang.
Rumah Deskopidi di bilangan Antang, Manggala, menjadi persinggahan pertama rangkaian tour bedah buku kami-Menemukan Kembali Nation Kita dan buku saudara Asran Salam “Kita, Buku, dan Dunia yang Misteri” yang dilaksanakan penerbit indie, Subaltern. Rangkaian roadshow yang direncanakan diadakan di lima kota di pesisir barat Sulawesi Selatan.
Setelah moderator memperkenalkan kami, saya pun mendapat giliran berbicara setelah saudara Asran. Saya menjelaskan asal muasal buku saya itu yang berasal dari kumpulan opini yang terbit di koran lokal selama kurang lebih 15 tahun.
Diskusi pun mengalir. Namun ada satu pertanyaan yang menarik menurut saya dari salah seorang peserta mengenai bagaimana kesulitan yang dihadapi orang-orang Sulawesi Selatan dalam menulis terutama karena bahasa Indonesia bukan merupakan bahasa ibu mereka.
Saya menanggapi bahwa justru orang Sulsel punya andil besar dalam setidaknya menemukan bahasa Melayu yang menjadi dasar dari bahasa Indonesia. Seperti diketahui bahasa Melayu klasik dikembangkan dan dibakukan melalui upaya-upaya dari beberapa tokoh, termasuk salah satunya Raja Ali Haji yang merupakan keturunan seorang diaspora dari kawasan Sulawesi Selatan.
Yang kedua, saya menjelaskan keuntungan menggunakan bahasa Indonesia, bahwa cerita-cerita yang bernuansa lokal dapat menemui pembaca yang lebih luas.
Menjelang malam, kami meluncur ke titik kedua yakni Pesantren Gombara yang ada di kawasan Tamalanrea. Bedah buku dilaksanakan di dalam masjid. Hal yang baru bagi saya. Kurang lebih puluhan santri telah menunggu di sana. Mereka sangat antusias menyambut kami dan terungkap bahwa beberapa santri telah mengakrabi membaca karya sastra Indonesia. Sebut saja karya Tere Liye, J.S Khairen, dan lainnya.
Kesekon harinya kami melanjutkan perjalanan menyusuri jazirah sebelah barat Sulawesi Selatan, yakni Kota Maros. Agendanya diadakan di museum kabupaten. Siang itu berkumpul belasan anak muda yang sepertinya telah menanti kami. Selain Asran dan saya kami bertambah satu pembicara yakni penulis lokal asal Maros-Badaruddin yang baru saja juga menerbitkan buku puisi berbahasa daerah.
Dari Maros kami bergeser ke Kabupaten Pangkajene Kepulauan (Pangkep)-kabupaten yang terkenal dengan kuliner sop saudara menyambut kami dengan bersahaja. Malam hari kami berdiskusi di sebuah kafe bersama seorang pembedah yang merupakan penulis lokal-Firdaus yang juga punya penerbitan.
Di Pangkep, buku kami dibedah seperti ikan bolu. Dipotong kecil-kecil seperti daging sapi bahan utama sop saudara. Ada nada pesisme dari pembedah bahwa menerbitkan buku saat ini tidak seistimewa seperti dahulu karena saat ini sebenarnya setiap orang telah menjadi penulis minimal pada status di akun media sosialnya masing-masing, hanya saja mediumnya yang berbeda.
Suara serak seorang penyair memecah keheningan diskusi malam itu. Dia membacakan sebuah puisinya di hadapan peserta. Sesuatu yang menurut saya menarik karena dalam acara bedah buku bukan saja buku yang dibedah tapi juga minimal ada penampilan musik atau minimal pembacaan karya.
Titik terakhir kami di kota cinta, Pare-pare. Sayangnya kami melewatkan satu kabupaten yang dikenal dengan literasinya yang cukup kuat yakni Barru, tanah yang melahirkan Colli Pujie, seorang tokoh perempuan yang menyalin sastra epik terpanjang di dunia yakni I Lagaligo.
Matahari yang mulai akan berlabu menyambut kami di kota bandar itu. Di sebuah toko buku yang dari bangunannya kelihatan sudah sangat berusia, namanya Toko Buku Interaksi. Di sanalah diadakan bedah buku kami. Mata saya langsung tertuju pada koleksi bukunya yang lumayan banyak. Tak lama kemudian moderator pun mengambil alih dan mulai membuka diskusi.
Salah satu pertanyaan yang mengemuka di diskusi itu tentang isu-isu terkini seperti adanya hastag Kaburajadulu dan bagaimana konsep nation yang saya tuliskan dalam buku saya. Seorang penanya bahkan dengan terang menanyakan pandangan saya tentang konsep nasionalisme, mengapa saya memilih konsep Ben Andreson dan tidak memilih pendekatan yang lain. Juga pertanyaan mengapa pendiri bangsa memilih konsep kesatuan dibanding federal dan lain-lain.
Memang jika kita memikirkan kembali pikiran Ben Anderson tentang negara dan bangsa yang terbentuk dari kapitalisme percetakan kita akan sampai pada pikiran bahwa di era digital seperti saat ini masih relevankan negara bangsa?
Dalam buku "21 Lessons for the 21st Century", sejarawan Yuval Noah Harari menyoroti bahwa nasionalisme-yang berfokus pada kepentingan dan identitas negara-bangsa- tidak cukup untuk mengatasi tantangan global terutama dalam tiga hal yakni: perang nuklir, krisis ekologi,dan disrupsi teknologi.
Dari perjalanan ini saya melihat bagaimana semangat anak-anak muda kita membangun literasi sampai ke desa-desa sebagaimana para penggerak kebangkitan bangsa yang melahirkan Budi Utomo 1908 adalah para pelajar dan priyai yang ‘melek’ literasi.
Saya kira titik berangkat utama jika kita masih bermimpi mencapai Indonesia Emas 2045 adalah dengan memassifkan gerakan literasi karena saat ini generasi muda kita berhadapan dengan limpahan informasi hingga Brain Rot.
Harus diakui memang roadshow buku tergolong kegiatan yang masih sepi peminat jika dibandingkan dengan acara musik atau yang lainnya. "Iya, ini roadshow yang kurang show-nya," kata temanku terkekeh. (*)