Empati Dan Pengasuhan Anak

  • Bagikan
Ema Husain Sofyan

Oleh: Ema Husain Sofyan

BULAN Juni 2025, siswa SMP akan menghadapi saat penting yaitu ulangan atau penilaian akhir semester. Yang dilanjutkan dengan libur kenaikan kelas dari tanggal 28 Juni hingga 12 Juli 2025. Penulis yang mempunyai anak yang juga saat sekarang menghadapi ulangan, lebih banyak main dengan gadget.
Dan sering ditegur, tapi sang anak menjawab jika membaca pelajaran dan kisi-kisi melalui HP. Tentu saja kita menjadi ragu, sebab masa kecil kita dilalui dengan buku fisik. Jadi terasa tidak afdal kalau belajar tidak melalui buku cetak yang disediakan pihak sekolah.

Orang tua dalam mengasuh anak, menginginkan anak-anak mereka tumbuh sehat, mempunyai kecerdasan, menjuarai perlombaan, menguasai berbagai hal baik dalam keolahragaan maupun dalan dunia seni. Orang tua pastinya akan bangga melihat anak mereka dalam setiap penerimaan rapor prestasinya membanggakan, setiap mengikuti perlombaan akan membawa pulang piala, dan untuk mewujudkan semua harapan tersebut maka pilihan orang tua adalah mengikutkan anak-anak meraka dalam kegiatan les, kursus, privat dan kegiatan lainnya. Dan pada akhirnya setelah tamat SMA, orangtua masih berharap agar anaknya masuk pada perguruan tinggi favoritnya.

Pengalaman Penulis dalam berinteraksi dengan orang tua siswa di sekolah, hampir rata-rata orang tua akan bercerita bagaimana mereka mendidik anak-anaknya dengan target meraih prestasi, bahkan terkadang mereka akan memotong hak bermain anak-anaknya hanya karena anak belum mendapat nilai yang baik menurut para orang tua.

Sebaiknya kita para orang tua berusaha memperkenalkan pada anak-anak bagaimana belajar itu melalui sebuah proses dan bagaimana belajar dengan nyaman. Apabila anak-anak belajar tetapi tidak merasa nyaman, maka sesungguhnya kita telah membawa anak-anak kita dalam situasi yang buruk ke-depannya. Dengan beban target juara untuk anak-anak, maka sesungguhnya orang tua telah memberikan beban bagi sang anak, dan untuk menyenangkan orang tua maka anak-anak akan menjadi seperti robot, anak-anak berlomba-lomba untuk juara untuk membuktikan pada orang tua bahwa dia adalah anak hebat sesuai harapan orang tua.

Sekolah itu tidak harus juara satu, tapi bagaimana anak senang dan nyaman sekolah. Mereka bisa menikmati sekolah yang tidak akan terulang seiring dengan bertambahnya usia manusia.

Yang tidak kalah pentingnya, bagaimana kita mendidik anak untuk mengembangkan rasa empatinya. Agar anak mampu memahami dan merasakan emosi orang lain. Empati merupakan kemampuan untuk dapat merasakan dan memahami keberadaan orang lain sebagai individu yang juga memiliki karakter dan perasaan yang berbeda-beda.

Waktu belajar bagi anak harus disesuaikan dengan kemampuan dan kenyamanan anak, dalam diskusi lepas dalam beberapa kesempatan dengan para orang tua murid di sekolah, sebagian besar mereka memberi target kepada anak-anaknya meskipun secara tidak langsung diungkapkan, tapi dari cara mereka yang menaruh segudang harapan terhadap anaknya merupakan salah satu indikator agar anak memenuhi target orang tuanya.

Pemberian target dari orang tua kepada anaknya tanpa mempertimbangkan kemampuan anak, akan membebani anak. Dan jika target tersebut tidak terpenuhi maka anak akan merasa tertekan, tidak berguna bahkan merasa tidak berharga. Memaksakan target hanya akan membuat anak-anak mengalami stres, bahkan ada kemungkinan anak akan berontak atau justru memusuhi orang tua.

  • Bagikan

Exit mobile version