Cinta Tanpa Pamrih

  • Bagikan
Darussalam Syamsuddin

Oleh: Darussalam Syamsuddin

MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Memang agak sulit membedakan secara tegas antara ibadah yang bersifat ritual dan yang bersifat sosial, karena hampir semua ibadah ritual mengandung aspek sosial di dalamnya. Untuk memudahkan membedakan ke duanya, kita sebut bahwa ibadah yang bersifat ritual adalah ibadah yang pelaksanaannya dalam bentuk upacara-upacara, jumlahnya sangat terbatas, dan kita tidak diperkenankan untuk turut campur memikirkan tata cara pelaksanaannya.

Sedangkan yang bersifat sosial jumlahnya tidak terbatas dan kita dibolehkan untuk ikut menentukan pelaksanaannya. Misalnya kalau dalam berbagai riwayat disebutkan bahwa Nabi Muhammad saw. senantiasa memberi makan kepada fakir-miskin, maka kita boleh menggantinya dengan memberi uang atau pekerjaan kepada mereka.

Kita seringkali mengukur keimanan seseorang hanya sebatas pada ketaatannya melaksanakan ibadah ritual. Padahal betapa banyak ayat Alquran yang mencela orang yang hanya taat melaksanakan ibadah ritual, tapi tidak saleh secara sosial. Di antaranya firman Tuhan dalam Alquran: “Pernahkah kamu melihat orang yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak memberi makan kepada fakir-miskin”. (QS. Al-Ma’un/107: 1-3).

Mereka yang melaksanakan salat, puasa, bahkan berulangkali menunaikan ibadah haji dan umrah, tapi tidak perduli kepada anak yatim dan enggan memberi makan kepada fakir miskin. Dipandang sebagai pendusta-pedusta agama. Karena itu keimanan erat kaitannya dengan seberapa besar kita bermanfaat bagi sesama. Semakin banyak orang yang mengambil manfaat dari amal saleh yang kita kerjakan, semakin tinggi kualitas amal saleh itu.

Alquran berulangkali menyebut amal saleh yang dikaitkan dengan iman. Sebagian orang beranggapan bahwa amal saleh adalah pekerjaan yang disepakati sebagai kebajikan, apa pun agamanya. Misalnya, semua orang sepakat bahwa membela orang yang dizalimi adalah perbuatan baik. Sebagian yang lain membatasi bahwa amal saleh adalah pekerjaan-pekerjaan yang tidak menuntut upah. Sementara lainnya mengatakan bahwa amal saleh adalah pekerjaan yang dilakukan tanpa perencanaan.

Untuk berbuat kepada orang lain, tidak hanya berupa materi dan uang. Kata Nabi Muhammad saw. bahwa “Termasuk sedekah adalah engkau tersenyum ketika berjumpa dengan saudaramu, atau engkau singkirkan sesuatu yang mengganggu di jalan”. Yang dibutuhkan sekarang ini adalah menolong orang lain secara tulus, kita memerlukan kecintaan tanpa syarat pada semua orang.

Belajar pada anak kecil yang baru berusia belasan bulan. Kalau mendengar ada anak lain menangis, ia pun segera menangis tanpa mempersoalkan bangsa, status sosial, jenis kelamin, agama dan paham atau mazhab anak yang lain itu. Dengan demikian anak kecil tersebut dapat berempati tanpa syarat. Sedangkan kita yang sudah dewasa bahkan sudah termakan usia, hanya mampu berempati namun telah dibatasi oleh sekat-sekat misalnya oleh latar belakang pendidikan, budaya dan agama yang kita anut.

Setelah Nabi Muhammad saw. wafat, para pengikutnya berlomba-lomba menumpuk kekayaan dan memuji kebakhilan. Kebanyakan masyarakat kehilangan panduan, menghabiskan umurnya untuk mengejar kesenangan. Kepentingan dunia lebih diutamakan dari pada kepentingan akhirat. Membanggakan pendapatnya sebagai pendapat yang paling benar, orang hidup dalam situasi serba korup. Padahal Nabi Muhammad saw berpesan: Lakukan perbuatan baik dan jauhi perbuatan mungkar. Akan datang suatu zaman kamu melihat kebakhilan dituruti, hawa nafsu diikuti, dunia didahulukan dan setiap orang takjub pada pendapatnya.

Para pecinta tasawuf berkata: “Pengkhidmatan tanpa didasari dengan cinta, ibarat bangkai yang cantik. Bentuk luarnya indah tetapi ia tidak bernyawa.” Dari semua kebajikan yang telah kita kerjakan, Tuhan hanya menerima bantuan yang kita berikan atas dasar cinta bukan karena pamrih atau demi keuntungan, terhadap kebajikan apa saja yang kita berikan kepada sesama. (*)

  • Bagikan