Penulis: Munawir Kamaluddin
MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Haji mabrur bukan sekadar anugerah spiritual, melainkan kesaksian tentang lahirnya manusia baru, yang disucikan oleh air mata tobat, dibimbing oleh cahaya tauhid, dan ditugaskan untuk menebar kasih dan maslahat di bumi.
Ia bukan piala dari langit, tetapi pelita yang terus menyala dalam gelapnya kehidupan dunia. Ia tak tergantung pada pujian manusia, tetapi terpancar dari pancaran amal yang ikhlas dan laku yang membawa rahmat.
Setiap jiwa yang melangkah ke Baitullah membawa segenggam harapan: semoga kepulangannya bukan sekadar kembali dari tanah suci, tapi pulang sebagai insan yang disucikan.
Tapi pertanyaannya adalah: apakah yang berubah? Bukan pakaiannya. Bukan gelarnya. Tapi hatinya, dan dari hatilah perubahan itu merembes ke perilaku, tutur kata, dan seluruh gerak hidupnya.
Mabrur: Bukan Destinasi, Tapi Transformasi
Haji mabrur tak tercetak dalam sertifikat atau dipublikasikan dalam status media sosial. Ia hidup dalam diam, dalam kejujuran seorang pedagang, dalam kelembutan pemimpin terhadap rakyatnya, dalam kesabaran di tengah kemacetan, dalam kepedulian terhadap tetangga yang tertimpa kesulitan.
Imam An-Nawawi menyebutkan bahwa mabrur adalah haji yang bersih dari kefasikan dan riya, yang melahirkan amal saleh yang terus mengalir. Dan amal yang paling nyata adalah yang berjejak pada sesama, memberi makan, menebar salam, membantu yang lemah, dan menahan diri dari menyakiti.