Oleh: Darussalam Syamsuddin
MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Beberapa hari ke depan, Jumat 27 Juni 2025 bertepatan dengan 1 Muharam 1447 Hijriah, umat Islam mengenal dan memperingati sebagai tahun baru dalam penanggalan Hijriah.
Harapan berkaitan dengan tahun baru tersebut tidak hanya dikaitkan dengan hal-hal yang bersifat spiritual, melainkan sebagai saat yang tepat dan penting tidak boleh disia-siakan dapat dijadikan peluang untuk melakukan perubahan positif dalam berbagai aspek kehidupan umat Islam. Misalnya, aspek politik, ekonomi, sosial kemasyarakatan, dan selainnya.
Jika tahun baru Hijriah dipandang sebagai momen kebangkitan, kita pun akan bertanya apanya yang bangkit? Karena hampir seluruh bidang kehidupan umat nyaris terbelakang. Kemiskinan, kebodohan, keterbelakangan, rapuhnya persatuan, lemahnya kepedulian terhadap sesama, dan beragam persoalan hidup mengelilingi umat Islam. Jawaban terhadap persoalan ini sering bersifat apologi, bahwa yang salah bukanlah ajaran agamanya, melainkan pemahaman umat terhadap ajaran agamanya.
Membincang tentang peran agama dalam kehidupan masyarakat sering kali tidak menemukan titik temu dan berakhir dengan perbedaan. Sekelompok orang memandang bahwa kesadaran beragama masyarakat meningkat, alasannya karena masjid-masjid semakin ramai, kegiatan keagamaan semakin semarak.
Sementara yang lain memandang bahwa kesadaran beragama masyarakat semakin rendah, alasannya tindakan kriminal meningkat, sikap antisosial, dan kemerosotan moral semakin marak. Kedua pandangan ini tidak akan ketemu, sebelum kita menyampaikan bahwa keduanya beranjak dari sudut pandang yang berbeda. Ada yang memandang agama dari dimensi ritual, dan lainnya memandang dari dimensi sosial.
Peneliti sosial pun demikian, jetika meneliti hubungan antara pengaruh agama terhadap kesehatan mental. Mereka mengatakan tidak ada hubungan yang signifikan antara keberagamaan seseorang dengan kesehatan mental.
Beragama dan tidak beragama sama-sama berpotensi mengalami gangguan mental. Karena itu, menurut pandangan ini, bohonglah orang yang mengatakan agama membuat orang lebih tabah, agama membuat orang menjadi tenteram, agama dapat menguatkan orang menghadapi persoalan hidup.
Hal ini dibantah oleh seorang psikolog sosial terkemuka Gordon W. Allport. Dia keberatan dengan kesimpulan seperti ini. Mereka salah mengukur, kesadaran beragama tidak hanya diukur dengan menanyakan berapa kali mereka pergi ke masjid, dan tempat-tempat ibadah. Kesadaran beragama berkaitan dengan aspek kehidupan secara menyeluruh. Pandangan pertama melihat agama dari dimensi ritual, sementara Allport melihat dari dimensi sosial.
Agama berperan dalam kehidupan masyarakat, ketika penganut umat beragama memberi peran terhadap ajaran agama dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Peran agama dalam masyarakat perspektif Islam antara lain:
Pertama, Islam memandang kehadiran agama dimaksud untuk mengubah masyarakat dari kegelapan kepada cahaya (QS. Ibrahim/14 : 1).
Islam memandang kegelapan itu berupa: Ketidaktahuan tentang syariat, pelanggaran terhadap ketentuan syariat, dan penindasan. Karena itu, Islam datang mengajarkan tentang halal dan haram, menuntun manusia dari kemaksiatan menuju ketaatan, dan membebaskan manusia dari belenggu yang menindas mereka.
Kedua, prinsip taghyir (perubahan). Islam membawa perubahan diawali dengan perubahan individu menuju perubahan institusional. Ketika Islam mengajarkan tentang kepedulian terhadap sesama, kemudian selanjutnya melahirkan institusi zakat. Ketika Islam menganjurkan persaudaraan, lahirlah institusi ukhuwah.
Ketiga, perubahan itu harus dilandasi dengan dimensi intelektual. Alquran senantiasa menggandengkan pesan yang berdimensi ritual dengan dimensi sosial. Misalnya: “Sesungguhnya salat itu mencegah pelakunya dari perbuatan keji dan mungkar” (QS. Al-‘Ankabut/29 : 45).
Keempat, Islam memandang kemunduran umat Islam tidak hanya terletak pada ketidaktahuan tentang syariat Islam, melainkan pada ketimpangan struktur ekonomi dan sosial. Misalnya kemiskinan disebabkan karena tidak adanya usaha bersama untuk membatu kelompok lemah mustadhafin, dan mencintai harta kekayaan secara berlebihan (QS. Al-Fajr/89 : 19-20). (*)