Hakim Konstitusi “Periksa” Ome

  • Bagikan

MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Mahkamah Konstitusi akan mendalami kasus dugaan pelanggaran administrasi pasangan calon (paslon) Wali Kota dan Wakil Wali Kota Palopo, Naili-Akhmad Syarifuddin dalam pelaksanaan pemungutan suara ulang (PSU) Pilkada Palopo 2025. Hakim konstitusi memerintahkan untuk menghadikan Akhmad Syarifuddin alias Ome dalam sidang lanjutan yang akan digelar, Jumat (4/7/2025), hari ini.

Adapun pemanggilan Ome dalam persidangan berkaitan dengan dugaan pelanggaran administrasi pencalonan saat maju sebagai calon wakil wali kota Palopo mendampingi Nilai. Ome disebut tidak jujur atas statusnya sebagai mantan terpidana.

Sebagaimana dalam gugatan pemohon paslon nomor urut 3, Rahmat Masri Bandaso-Andi Tenri Karta (RMB-ATK) yang diwakili tim kuasa hukumnya, Wahyudi Kasrul cs, mempersoalkan masalah administrasi pencalonan Naili, terkait surat pemberitahuan tahunan (SPT) pajak penghasilan pribadinya dan masalah Ome yang dinilai tidak jujur atas statusnya sebagai mantan terpidana.

Juru bicara Naili-Ome, Haedar Djidar memastikan 'jagoannya' itu siap hadir dalam sidang lanjutan sengketa hasil PSU Pilkada Palopo 2025 di Mahkamah Konstitusi. Dia mengatakan, bahwa Ome sebenarnya menunggu momen ini agar bisa secara langsung menjelaskan pada hakim konstitusi dan publik terkait yang dipersoalkan penggugat.

"Hasil konfirmasi siap hadir dan bahkan menyampaikan justru ini kesempatan yang baik untuk menyampaikan kepada publik sekaligus menyampaikan di muka sidang bahwa faktanya begini, dia bisa jelaskan langsung," kata Haedar kepada Harian Rakyat Sulsel, Kamis (3/7/2025).

Selain itu, kata Haedar, mengenai permintaan hakim mahkamah untuk menghadirkan langsung Akhmad dalam persidangan selanjutnya disebut kemungkinan dilakukan agar mendapatkan jawaban secara objektif.

"Hakim mungkin mau mendalami terkait dengan perkara yang ditujukan langsung pada yang bersangkutan Bapak Akhmad, tentunya mungkin hakim berpendapat atau menilai bahwa untuk mendapatkan sesuatu hal yang objektif, yah mungkin harus memanggil yang bersangkutan," imbuh dia.

Saat ditanyakan terkait masalah Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK) yang sempat diurus Ome dan dibahas dalam sidang sebelumnya, Haedar menolak memberikan penjelasan. Dia menyebut, masalah tersebut hanya bersangkutan yang bisa memberikan jawaban.

"Itulah mengapa hakim memanggil Ome karena yang bersangkutan tahu persis. Saya tidak mau berspekulasi, biarlah langsung ditanyakan soal itu, pasti punya argumentasi sendiri," imbuh Haedar.

Untuk diketahui, dalam sidang Rabu lalu, ahli dari pihak terkait atau Naili-Ome, Feri Amsari sempat mengungkapkan bahwa dalam perkara sengketa hasil PSU Pilkada Palopo 2025, utamanya terkait dugaan pelanggaran administrasi wakil wali kota Palopo nomor urut 4 ada hal yang menarik, terutama dalam pengurusan Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK).

"Beberapa hal menarik, salah satunya ketika mengurus SKCK, ada form dari kepolisian karena saya diberikan datanya oleh beberapa pihak. Di form kepolisian itu sebelum mendapat SKCK ada pertanyaan, 'pernahkah saudara (Akhmad) dipidana?' Dijawab oleh pendaftar, 'pernah'. Dia sendiri mengakui pernah berbuat pidana dan sudah melewati proses itu," ungkap dosen hukum Universitas Andalas itu.

"Jadi, pada titik ini, yang mulia, saya berpendapat, tidak mungkin ada orang punya niat jahat untuk mengakali proses tahapan pemilu kalau dia sendiri pernah menuliskan bahwa dia pernah menjadi terpidana," sambung dia.

Mendengar penjelasan saksi-saksi ahli yang dihadirkan dalam persidangan, hakim konstitusi, Saldi Isra dan Arsul Sani sempat meminta kepada kelima ahli yang hadir baik dari pihak pemohon, termohon, maupun pihak terkait untuk memberikan pendapat terkait seseorang yang pernah dipidana mengajukan surat permohonan atau pernyataan dirinya tidak pernah dipidana.

"Jika seorang pernah dipidana, kemudian mengajukan surat permohonan menyatakan dirinya tidak pernah dipidana? Bagaimana menjelaskan integritas calon soal ini? Jadi, lepaskan dulu soalnya ini, apakah di tahap awal atau di PSU? Jadi, kita lepaskan itu, itu nanti kami yang akan menilainya. Karena di beberapa putusan, itu disebut soal integritas. Nah, tolong kelima Ahli menjelaskan ini, bagaimana menilai calon yang dia sendiri pernah dipidana, tapi mengajukan permohonan bahwa dia tidak pernah dipidana?," tanya Saldi Isra.

Menanggapi pernyataan itu, Feri Amsari menjelaskan, soal form SKCK yang sebelumnya diisi oleh Akhmad dengan tulisan tangan secara tidak langsung sudah mendeklarasikan atau mengakui bahwa dirinya pernah dipidana.

"Jadi, dia sendiri yang mendeklarasikan dia pernah melakukan (pidana). Nah, kalau kemudian ada surat keterangan dari pengadilan yang mengatakan yang lain, ini juga problematika. Teknisnya di lapangan, sebagaimana yang saya ketahui, saya mungkin tidak lebih banyak mengetahui soal teknis, tetapi biasanya LO akan selalu berupaya memenuhi syarat apa saja yang ada. Walaupun sebagaimana disampaikan tadi oleh KPU Sulsel bahwa kalau sudah status terpidana, dia tidak diwajibkan lagi mengurus," ungkap Feri.

"Nah, dokumen, form untuk mengajukan perkara ini, merespons sekaligus pertanyaan Yang Mulia Saldi Isra, adalah bunyinya bahwa tidak pernah mengurus surat keterangan tidak pernah dipidana. Tidak ada keterangan surat pernah dipidana. Ini problematika dua sisi yang perlu dilihat. Hal ini sama juga dengan status Boven Digoel yang pernah saya singgung, formnya mengatakan mengisi tidak pernah terpidana atas dasar putusan pengadilan negeri, sementara dia dipidana putusan pengadilan militer. Pertanyaan besarnya dia harus menulis apa Jadi, ini problematika soal jujur tidak jujur, saya perlu bertanya juga ke yang mulia, adakah orang politik yang jujur 100 persen?," kata Feri melanjutkan penjelasannya.

Dengan begitu, Feri beranggapan soal apakah gugurnya syarat bagi mantan terpidana, menurut tentu gugur, apalagi yang bersangkutan telah melakukan empat hal yang dipersyaratkan bagi terpidana untuk menyampaikan di media, di ruang publik, dan lain-lainnya. Secara tidak langsung, menurut ahli, hal ini sudah memperlihatkan ada niat baik dari Akhmad.

"Bagi saya, niat jahat itu sebagaimana pemahaman saya yang sedikit soal pidana, kan dimulai dari pendekatan bukan nawaitu (niat), tapi misalnya purposely (sengaja), dia sengaja dengan tujuan tertentu, itu akan hilang ketika dia sudah menyampaikan dia pernah dipidana. Tidak ada recklessly-nya, tidak ada kecerobohannya, dia sudah menyampaikan SKCK-nya dan menyampaikan di dalam forum publik," imbuh dia.

Feri mengungkapkan, mengenai masalah mengatur pengumuman di ruang publik, termasuk kepada media tertentu diberi kesempatan kepada pemilih untuk mengetahui background dari peserta, dan itu dianggap telah terpenuhi.

"Dan bagi saya keadilan substantif ini akan selalu jauh lebih penting daripada kita mencari-cari kealpaan administrasi. Saya yakin di dalam banyak perkara, yang mulia sudah menemukan banyak sekali kealpaan kecil-kecil maupun besar dari proses prosedural itu sebagaimana yang disampaikan oleh Lowenstein. Saya pikir itu sudah merespons seluruh pertanyaan yang mulia," tutup Feri.

Selain penjelasan dari saksi ahli terkait, saksi ahli pemohon, Fajlurrahman juga sempat menjelaskan di awal sidang terkait dugaan pelanggaran administrasi yang dilakukan oleh calon wali kota dan wakil wali kota Palopo nomor urut 4 Naili-Akhmad.

"Pertama adalah dugaan penggunaan dokumen palsu yang tadi sudah diakui juga oleh Bawaslu, sebenarnya karena SPT itu ada dua. SPT yang diinput di SILON sebagai dasar penetapan pasangan calon dan SPT yang diganti sekitar tanggal 8 Mei setelah verifikasi," ungkap Fajlurrahman.

Ia mempertanyakan asal dan sumber dokumen atau SPT pajak Naili sebagai dasar termohon atau KPU Sulsel untuk melakukan penetapan pasangan calon wali kota dan wakil wali kota Palopo. Sebab menurutnya, ada dugaan pemalsuan SPT dan ada niat yang utuh dari pihak terkait untuk memalsukan dokumennya.

"Kalau seandainya tidak ada rekomendasi Bawaslu yang memastikan bahwa SPT itu tidak benar maka itu akan menjadi dasar bagi KPU untuk terus sampai terpilihnya pasangan calon. Karena itu terdapat niat menurut saya secara nyata yang dilakukan oleh pihak terkait, terkait permohonan SPT-nya," sebut dia.

Bukan itu saja, dosen hukum Universitas Hasanuddin (Unhas) itu menjelaskan terkait penggunaan waktu perbaikan persyaratan pasangan calon oleh termohon atau KPU Sulsel yang sudah di luar pelaksanaan tahapan PSU Pilkada Palopo.

Menurut dia, perbaikan persyaratan pasangan calon atau jadwal dan tahapan itu menurut saya adalah kanal waktu yang pasti bagi setiap pasangan calon agar tahapan pemilihan itu memiliki kepastian hukum yang pasti terkait dengan tahapan.

"Kalau sudah masuk tahapan kampanye, yah tahapan kampanye saja, tidak kembali lagi ke tahap verifikasi berkas atau tahap perbaikan berkas. Dalam kasus ini jelas sekali bahwa ada perbaikan berkas di tahap yang bukan tahapan perbaikan berkas," terangnya.

"Selanjutnya tindakan termohon yang melakukan perbaikan berkas di luar jadwal dan tahapan menurut saya adalah tindakan yang tidak komitmen atau tidak patuh terhadap apa yang sudah mereka tetapkan," lanjutnya.

Padahal, kata dia, harusnya tahapan pelaksanaan Pilkada harus konsisten. Menurut Fajlurrahman, kalau merujuk pada Pasal 2 Undangan-Undang (UU) Pemilihan Jo. Pasal 10 huruf h, setiap pasangan calon itu harus diperlakukan jujur secara adil dan penyelenggara harus memperlakukan mereka secara setara dan adil.

Karena itu, menurutnya, memberikan kesempatan kepada salah satu pasangan calon dalam hal ini pasangan calon wali kota Palopo nomor urut 4, Naili Trisal-Akhmad Syarifuddin untuk memperbaiki berkas administrasinya sudah di luar tahapan yang dijadwalkan dan itu akan tidak adil bagi pasangan calon lainnya.

"Penting juga kejujuran bagi pihak terkait, karena jujur ini asas pemilihan, karena dokumen SPT itu munculnya dua di SILON, kemudian perlu ditanyakan ada yang asli dan palsu. Menurut saya yang mulia adalah ada ketidak jujuran secara substansial yang dilakukan oleh pasangan calon nomor urut 4," ujar Fajlurrahman.

Mengenai ketidakjujuran ini, Fajlurrahman menegaskan bahwa para pihak mempedomani putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 PHPU Tahun 2025, halaman 189 Kabupaten Pasaman, yang menyatakan seharusnya pihak terkait menyampaikan secara jujur kepada termohon jika terdapat kesalahan dokumen yang diserahkan pada saat pendaftaran.

Bukan itu saja, ia juga memberikan rujukan terkait putusan Mahkamah Konstitusi 260 halaman nomor 164, 170 dan putusan Mahkamah Konstitusi nomor 304, halaman 347 dan 348.

"Ternyata setelah keluar rekomendasi dari Bawaslu itu baru diperbaiki. Karena itu Mahkamah Konstitusi juga menegaskan dalam putusan ini berkenan sikap jujur dari calon peserta dapat dibuktikan pada saat mendaftarkan diri sebagai peserta pemilihan. Oleh karena itu terhadap syarat administrasi dapat dibuktikan pada saat mendaftarkan diri sebagai peserta pemilihan," bebernya.

Dengan begitu, terhadap syarat administrasi pencalonan seharusnya, kata dia, para calon peserta pemilihan harus mengisi dokumen dengan baik dan benar yang didasarkan adanya kejujuran sebagai salah satu parameter pemilihan. (isak pasa'buan/C)

  • Bagikan