TAKALAR, RAKYATSULSEL – Di balik gemerlap janji pembangunan dan retorika perubahan, masih terdengar suara lirih dari sudut-sudut desa yang terabaikan. Suara seorang ayah, buruh tani dari Kalelantang, yang hanya bisa menggigit bibir menahan perih saat membawa pulang anaknya dari Rumah Sakit H. Padjonga Daeng Ngalle—bukan karena sang anak telah sembuh, tetapi karena tak ada lagi yang bisa dijual atau dipinjam untuk membayar biaya perawatan.
Anaknya, berinisial N, baru empat hari dirawat di ruang Asoka. Namun karena keluarga ini tidak memiliki Kartu Indonesia Sehat (KIS) atau BPJS Non-Mandiri, seluruh biaya pengobatan harus ditanggung sendiri. Dengan berat hati, mereka membayar Rp800 ribu dari hasil pinjaman terakhir yang berhasil dikumpulkan dari keluarga.
“Kalau bukan karena terpaksa, mana mungkin saya bawa pulang anak saya yang masih sakit? Tapi uang dari mana, Pak? Untuk makan saja kami susah,” ucap sang ayah dengan mata berkaca-kaca.
Ia adalah seorang buruh tani dengan penghasilan tak menentu. Membayar iuran BPJS Mandiri seperti yang disarankan pihak rumah sakit jelas di luar kemampuannya.
Sambil mengusap wajah, ia mengenang masa lalu yang kini terasa jauh. “Dulu, waktu Pak H. Syamsari Kitta masih jadi Bupati, kami orang miskin tak perlu khawatir. Pemerintah yang bayarkan lewat BPJS Non-Mandiri. Tapi sekarang, kami seperti dilupakan.”
Kisah ini bukan satu-satunya. Di wilayah Galesong, warga lain mengaku mengalami nasib serupa. Mereka dipulangkan dari rumah sakit sebelum benar-benar sembuh karena KIS yang mereka miliki tidak lagi aktif. Biaya perawatan yang harus dibayar sendiri menjadi beban yang tak sanggup mereka tanggung.