Oleh: Darussalam Syamsuddin
MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Hidup di negara yang memiliki aneka ragam budaya, agama, dan ras membawa warna kehidupan tersendiri. Bangsa kita yang mengusung semboyan Bhinneka Tunggal Ika, dari waktu ke waktu semakin melupakan untaian kalimat indah itu. Akhir-akhir ini kita disuguhkan informasi yang menyebut dua wilayah di Sulawesi Selatan masuk kategori memiliki indeks toleransi yang rendah. Kategori wilayah yang berpotensi intoleran dalam kehidupan bermasyarakat.
Modus keberingasan yang mewarnai media dengan mudah dapat menyuguhkan informasi yang setiap hari mewarnai Tanah Air tercinta. Hampir merata di semua level dan struktur, kita berubah menjadi bangsa yang mudah menyalahkan orang dan komunitas lain. Gemar bicara, namun enggan mendengar. Kebenaran hanya milik kita, teman kita, keluarga kita, kelompok dan komunitas kita, yang tidak sepaham dengan kita semuanya salah dan masuk neraka.
Serapuh inikah komitmen bersama untuk mengakui perbedaan sebagai sunnatullah yang tidak dapat dihindari. Semua yang hidup di bawah langit Indonesia, merupakan sebuah keniscayaan untuk menerima dan siap hidup bersama dalam perbedaan. Tidak dengan cara memaksakan kehendak agar orang lain harus mengikuti dan memandang benar apa yang kita katakan menurut pemahaman kita. Alquran berpesan: “Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan satu umat saja. Namun Allah hendak menguji kamu atas segala yang diberikan kepadamu”. (QS. Al-Maidah/5 : 48).
Sikap toleran tidak hanya dilakukan sekali dalam hidup, melainkan membutuhkan pengulangan-pengulangan sehingga menjadi kebiasaan. Bukan hanya slogan kosong tanpa pengamalan. Inilah sikap istikamah atau konsisten. Jika melakukan kebaikan hanya sekali saja siapa pun bisa dan merupakan hal biasa. Namun jika kebaikan itu dilakukan berulang-ulang tanpa batas ini disebut istikamah dan ini yang luar biasa. Jika dalam kehidupan bermasyarakat kita mengalah demi kepentingan bersama boleh jadi motifnya pamer atau Riya dan sum’ah dalam bahasa agama, namun jika berulang kali kita bersikap demikian, itu adalah sebuah kejujuran dan ketulusan.
Sulawesi Selatan dikenal dengan daerah yang masyarakatnya diliputi suasana religius. Hal ini harus berbanding lurus dengan sikap toleran yang dipraktikkan dalam kehidupan bersama merajut ke-Bhinekaan dalam suku, agama, dan kelompok masyarakatnya. Apa gunanya mengaku paling Islami, jika praktik keseharian tidak mencerminkan sikap toleran. Tidak ada yang dapat ditularkan selain benih-benih kebencian dan permusuhan.
Belajarlah sikap toleran dari Bali yang telah berlangsung berabad-abad lamanya dan memiliki fondasi kultural yang sangat kokoh, sehingga tidak mudah terkoyak. Selama ini kita tidak pernah mendengar ada masalah dalam hubungan antar agama di Bali. Umat Hindu dan Muslim hidup berdampingan dengan damai, saling menolong, dan saling menghargai. Ungkapan lama “ di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung” telah menjadi falsafah hidup umat Islam di Bali. Mereka berbaur dengan masyarakat dan budaya setempat. Karena itu, lembaga-lembaga adat yang tumbuh dan hidup di kalangan masyarakat Hindu Bali juga tumbuh dan hidup di kalangan masyarakat Islam di Bali.
Bali terkenal sebagai wilayah di Indonesia dengan pemeluk Hindu terbesar. Hal ini merupakan berkah Tuhan yang memperkaya keragaman di bumi Nusantara yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Promosi Bali hingga ke dunia Internasional sebagai daerah tujuan wisata sering kali membuat kita lupa pada satu hal penting, bahwa pulau yang dijuluki sebagai Pulau Dewata sebenarnya juga merupakan oase penyejuk dan sumber mata air bagi toleransi dan kerukunan hidup beragama di Indonesia dan dunia Internasional. (*)