Oleh: Muh. Ilmi Ikhsan SaburKader HMI Cabang Makassar Timur
MAKASSAR, RAKYAT SULSEL.CO – Fenomena pete-pete menghadang bus kerap kali menjadi berita yang hangat terjadi akhir-akhir ini.
Munculnya inovasi Teman Bus Mamminasata membuat supir pete-pete gusar karena mulai kehilangan penumpangnya.
Bagaimana tidak, Si Bus Coklat menawarkan harga murah dan kenyamanan bagi penumpang sehingga orang-orang mulai berangsur pindah ke Bus Coklat dibanding si Biru.
Pete-pete (dibaca: angkot) adalah transportasi yang lazim dijumpai di kota-kota besar. Di Makassar istilah pete-pete yang berarti uang koin yang dulunya menjadi alat pembayaran ketika menggunakan angkot. Nama itu melekat puluhan tahun untuk angkot di Kota Makassar.
Dibalik kedigdayaan pete-pete yang sering disebut sebagai penguasa jalanan, kadang berhenti tiba-tiba tanpa aba-aba lampu sein dan membuat pengguna jalan di belakangnya gusar, tapi Si Biru ini telah sangat membantu orang-orang yang ingin menggunakan transportasi minim biaya. Akankah pete-pete mampu bertahan di tengah gempuran disrupsi transportasi?
Setelah fenomena ojek pangkalan yang hilang, kini pete-pete terancam. Ojek pangkalan kini hampir tidak ditemukan lagi di Makassar berganti dengan ojek online berseragam, hijau atau kuning. Begitu juga dengan taxi, kini sisa dihitung jari karena tergantikan oleh ojol mobil yang lebih mudah digunakan dan biaya yang terukur.
Satu hal yang membuat ojek pangkalan, taxi, dan pete-pete ditinggalkan adalah tidak adanya inovasi. Sementara keinginan konsumen selalu berubah dan menginginkan kemudahan dalam menggunakan produk atau jasa.
Sesuatu yang konstan adalah perubahan itu sendiri. Kalimat ini acap kali keluar, apalagi pasca pandemi baru-baru ini. Perubahan terasa begitu cepat, bahkan Prof. Renald Khasali menyebutnya double disruption, digitalisasi dan transformasi interaksi manusia seketika menjadi asing karena pandemi.
Akan tetapi, mau tidak mau semuanya harus mampu menyesuai dengan kondisi yang hadir. Seperti ungkapan Darwin dalam survival of the fittest, bahwa yang hanya mampu beradaptasi yang mampu bertahan.
Saya masih ingat pesan guru kimia saya sewaktu SMA. Saya hampir melupakan semua mata pelajaran yang diajarkan tapi saya masih mengingat dua kalimat yang beliau lontarkan di akhir kelas.
“Siapa yang melambat akan tertinggal. Siapa yang diam akan terlindas.”
Kenyataan itu memang benar dan menuntut kita untuk terus bergerak dan berinovasi.
Pertanyaan besarnya sekarang adalah apakah kita ingin jadi change maker atau change consumer?
Jawabannya ada dalam diri kita masing-masing, dan dibuktikan dengan ikhtiar yang kita lakukan. (*)