Didit menilai kedua pasal tersebut bisa saja meruntuhkan doktrin lex specialis dalam sistem hukum pers yang berlaku. Padahal karya jurnalistik tidak bisa dikriminalisasi karena memuat kepentingan umum. Hal itu dijelaskan dalam keberlakuan Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers berikut Kode Etik Jurnalistik yang merupakan mekanisme khusus (lex specialis) dan diutamakan keberlakuan hukumnya (lex suprema) dalam kasus-kasus hukum yang menyangkut pemberitaan atau karya jurnalistik.
"Tanpa perlindungan terhadap kebebasan pers berarti ancaman demokrasi akan semakin nyata. Begitu juga dengan kebebasan sipil, serta hilangnya kontrol publik atas tindakan kesewenang-wenangan. Jadi kami menolak RKUHP ini karena banyak pasal-pasal bermasalah, padahal ini negara demokrasi. Jika disahkan ini demokrasi kita dibungkam atau bahkan mati," terbangnya.
Adapun alasan kedua lembaga tersebut menolak pengesahan RKUHP bermasalah berdasarkan pada sejumlah pasal bermasalah.
Pasal bermasalah temuan LBH Makassar/LBH Indonesia dalam draf RKUHP versi 30 November 2022. Pasal terkait living law atau hukum yang hidup di masyarakat
Aturan ini merampas kedaulatan masyarakat adat, frasa “hukum yang hidup di masyarakat” berpotensi menjadikan hukum adat disalahgunakan untuk kepentingan pihak tertentu.
Selain itu, keberadaan pasal ini dalam RKUHP menjadikan pelaksanaan hukum adat yang sakral bukan lagi pada kewenangan masyarakat adat sendiri melainkan berpindah ke negara: polisi, jaksa, dan hakim. Ini menjadikan masyarakat adat kehilangan hak dalam menentukan nasibnya sendiri.
Selain mengancam masyarakat adat, aturan ini juga mengancam perempuan dan kelompok rentan lainnya. Sebagaimana diketahui, saat ini di Indonesia masih ada ratusan Perda diskriminatif terhadap perempuan dan kelompok rentan lainnya.
Kemudian, Pasal terkait pidana mati. Disebutkan banyak negara di dunia telah menghapus pidana mati karena merampas hak hidup manusia sebagai karunia yang tidak bisa dikurangi atau dicabut oleh siapapun, bahkan oleh negara.