Selain itu, frasa “melakukan melalui sarana teknologi” sebagai pemberat menjadikan hal ini berbahaya karena misalnya, seseorang yang terkena ancaman pidana fitnah, bisa mendapat tambahan pidana dengan adanya frasa ini.
Larangan unjuk rasa. Pasal ini seharusnya memuat definisi yang lebih ketat terkait “kepentingan umum” karena frasa ini berpotensi menjadi pasal karet yang bisa mempidana masyarakat yang melakukan unjuk rasa untuk menagih haknya.
Selain itu, frasa “pemberitahuan” seharusnya perlu diperjelas dan bukan merupakan izin,
sehingga hanya perlu pemberitahuan saja ke aparat yang berwenang dan tidak ada pembatasan tiga hari sebagaimana janji pemerintah.
Memutihkan dosa negara dengan penghapusan unsur retroaktif pada pelanggaran HAM berat. Dalam naskah terakhir dari RKUHP, negara menerapkan asas non-retroaktif, artinya kejahatan di masa lalu tidak dapat dipidana dengan peraturan baru ini.
Dengan diaturnya pelanggaran HAM berat di RKUHP menandakan bahwa segala pelanggaran HAM berat masa lalu dan semua pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum disahkannya RKUHP tidak dapat diadili.
Selain itu, masa daluarsa yang diatur di RKUHP juga terlalu singkat, padahal pelanggaran HAM
berat mustahil untuk diselesaikan dalam waktu yang sebentar, apalagi para pelakunya merupakan orang yang memiliki kuasa dan sumberdaya lebih untuk menghambat proses hukum.
Mempidana korban kekerasan seksual. Adanya pasal yang mengatur kohabitasi berpotensi mempidanakan korban
kekerasan seksual.
Meringankan ancaman bagi koruptor. Dalam draf RKUHP terakhir, ancaman terhadap koruptor terlalu ringan dan tidak memberikan efek jera terhadap koruptor yang dimana tindak pidana korupsi adalah kejahatan yang berdampak luas bagi masyarakat.