Kritik Pengesahan RKUHP, LBH dan AJI Temukan Puluhan Poin Ancam Demokrasi Indonesia

  • Bagikan
Aksi Mahasiswa Tolak RKUHP di Makassar, Senin (5/12). (A/Isak)

MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Makassar menolak keras pengesahan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang rencananya akan segera dibawa ke meja rapat anggota DPR RI untuk disahkan.

Kedua lembaga tersebut menilai, masalah dalam draf RKUHP sangat krusial, utamanya pasal-pasal yang berpotensi untuk mengancam demokrasi. Salah pasal yang banyak menjadi sorotan masyarakat adalah soal Penyerangan Harkat dan Martabat Presiden atau dikenal masyarakat sebagai pasal penghinaan presiden.

Wakil Direktur Bidang Internal LBH Makassar, Abdul Aziz Dumpa menjelaskan RKUHP merupakan produk hukum negara yang dibentuk oleh pemerintah dan DPR dengan tidak partisipatif serta tidak transparan. Bahkan draf terbaru RKUHP yang dipublikasi pada tanggal 30 November 2022 masih banyak memuat pasal-pasal yang bermasalah.

"Berdasarkan pemantauan sementara Aliansi Nasional Reformasi KUHP, ada sejumlah pasal-pasal yang terkandung dalam draf akhir RKUHP. Aturan ini lagi-lagi menjadi aturan yang tajam ke bawah, tumpul ke atas karena mempersulit jeratan pada korporasi jahat yang melanggar hak masyarakat dan pekerja," ujar Aziz--sapaannya, Senin (5/12).

Aziz menjelaskan dalam draf yang baru itu masih banyak memuat pasal-pasal anti demokrasi, melanggengkan korupsi di Indonesia, membungkam kebebasan pers, menghambat kebebasan akademik, mengatur ruang privat seluruh masyarakat, diskriminatif terhadap perempuan dan kelompok marginal, mengancam keberadaan masyarakat adat, serta memiskinkan rakyat.

Hal yang sama juga disampaikan Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Makassar, Didit Hariyadi. Sejumlah poin dalam RKUHP disebut terdapat pasal yang mengintervensi atau melemahkan kebebasan pers di Indonesia. Pasal itu diantaranya Pasal 263 tentang penyebaran berita bohong, dan Pasal 264 terkait penyebaran berita tidak pasti atau berlebihan.

"Dua pasal itu juga menjadi sorotan kami dan tentunya kita semua karena akan mengancam keberlangsungan pers di Indonesia. Padahal setiap karya-karya jurnalistik itu sebelum dipublis melakukan verifikasi yang matang. Jadi bisa saja aparat penegak hukum menginterpretasi berbeda sehingga teman-teman jurnalis bisa dipidana," kata Didit.

  • Bagikan

Exit mobile version