MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Partai-partai politik akan menjalani ujian berat dalam hal trasparansi kepada publik. Salah satunya, menyiapkan pelaporan yang jujur mengenai sumber-sumber dana kampanye pada Pemilihan Umum 2024.
Badan Pengawas Pemilu sejak diri sudah mewanti-wanti kepada partai politik untuk menyikapi hal yang satu ini. BUkan hanya partai, tapi seluruh kontestan yang ikut dalam pemilihan legislatif, DPD, maupun pemilihan kepala daerah. Pelaporan dana kampanye yang rapi, akan menghindari partai politik dari dugaan pelanggaran dan tindak pidana dalam pemilu.
Meski saat ini regulasi soal pelaporan dana kampanye belum keluar, namun warning Bawaslu tersebut patut menjadi perhatian. Apalagi, beberapa waktu lalu Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menemukan adanya aliran dana yang tidak beres dalam konstestasi pada 2019.
Pada Pemilu 2019, sumbangan dana kampanye dari perseorangan tidak boleh lebih dari Rp 2,5 miliar dan non perseorangan (kelompok, perusahaan, dan/atau badan usaha non pemerintah) tidak boleh lebih Rp 25 miliar.
Jumlah dana kampanye pemilu ini tertuang pada Pasal 326 dan 327 Undang Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum dan semuanya harus dilaporkan kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Patut diketahui pula pasal-pasal berikutnya mengatur tentang perbuatan/hal yang tidak boleh dilanggar.
Seperti dalam Pasal 525 ayat (1) di mana setiap orang, kelompok, perusahaan/badan usaha non Pemerintah yang memberikan dana kampanye pemilu melebihi batas yang ditentukan diancam pidana penjara maksimal dua tahun dan denda maksimal Rp 500 juta.
Berikutnya pada Pasal 525 ayat (2), setiap peserta Pemilu yang menggunakan kelebihan sumbangan, tidak melaporkan kelebihan sumbangan kepada KPU/tidak menyerahkan kelebihan sumbangan ke kas negara maks. 14 hari setelah Kampanye Pemilu berakhir diancam pidana penjara maksimal 2 tahun, denda maksimal Rp 500 juta.
Lantas bagaimana sikap partai politik di Sulsel merespons pelaporan dan transparansi dana kampanye pada Pemilu 2024?
Ketua Partai Kebangkitan Bangsa Sulawesi Selatan, Azhar Arsyad mengatakan selama musim pemilu, PKB selalu tertib dalam memberikan laporan dana kampanye. Hal serupa juga dilaksanakan oleh para calon legislatif PKB dan calon kepala daerah yang diusung partai tersebut.
Menurut Azhar, pelaporan dana kampanye tersebut ditempuh untuk menciptakan transparansi demi menciptakan proses demokrasi yang ideal, baik di tingkat nasional, maupun lokal, khususnya di Sulawesi Selatan.
"Kami berkaca pada tahun-tahun sebelumnya, pengurus dan kader PKB selalu taat pada regulasi. Kami selalu menekankan agar sikap trasparansi dana kampanye itu dikedepankan," ujar Azhar, Senin (20/2/2023).
Adapun, Ketua Partai Gerindra Sulsel, Andi Iwan Darmawan Aras menyatakan, sebagai peserta Pemilu 2024. Gerindra wajib menyampaikan laporan akhir dana kampanye (LADK) ke KPU.
"Sebagai parpol yang memiliki calon legislatif wajib melampirkan LADK, maka akan kami komitmen untuk menunaikan hal itu nantinya," ujar Andi Iwan.
Bersamaan dengan itu, anggota DPR RI itu mengatakan seluruh kader Gerindra peserta pemilu harus melaporkan atau menyetor kemudian dibuka rekening khusus dana kampanye (RKDK) ketika tahapan pemilu berlangsung. Bahkan, kata dia, Gerindra turut melibatkan akuntan publik untuk memantau aliran keluar masuk dana yang digunakan saat kampanye berlangsung.
"Kami menyampaikan Laporan Penerimaan dan Penggunaan Dana Kampanye (LPPDK) kepada KPU dan disampaikan ke Kantor Akuntan Publik (KAP). Hal itu dimaksudkan agar lembaga keuangan dapat memantau aliran dana kampanye," imbuh Andi Iwan.
Ketua Bawaslu Sulsel, Laode Arumahi mengatakan proses penyampaian dana kampanye tersebut disampaikan oleh peserta pemilu ke KPU dan Bawaslu.
"Dari buku rekening kontestan sudah bisa terbaca jumlah dana kampanye mereka. Bawaslu melakukan kroscek apakah sudah sesuai undang-undang atau tidak," kata Arumahi.
Menurut dia, pernah terjadi ada penyumbang dana kampanye terbesar ke salah satu partai. Bawaslu kemudian melakukan pengecekan dan ternyata penyumbangnya adalah seorang pedagang kecil.
"Kan tidak masuk akal sumber atau penyumbangnya," kata Arumahi.
Arumahi meminta konsistensi peserta Pemilu agar disiplin dalam menyerahkan pelaporan dana kampanye. Menurut dia, apabila hal tersebut tidak dilakukan tepat waktu, maka akan ada sanksi berat sampai dilakukan diskualifikasi kepada peserta pemilu.
"Misalnya mereka terlambat melaporkan rekening dana kampanye itu sanksinya bisa didiskualifikasi dan ini sudah pernah terjadi di Sinjai," ujar dia.
Pada Pilkada 2018 di Sinjai, calon petahana Sabirin Yahya yang berpasangan dengan Andi Mahyanto Massarappi didiskualifikasi karena terlambat menyampaikan besaran dana kampanye yang digunakan saat pemilihan kepala daerah.
"Pasangan itu telat melaporkan penggunaan dana kampanye sehingga Bawaslu rekomendasikan untuk mendiskualifikasi. KPU kemudian mengeluarkan pasangan tersebut," ujar Arumahi.
Menurut Arumahi, laporan dana kampanye yang direkaya akan mudah ketahuan saat dilakukan audit. Itu sebabnya, partai dan peserta pemilu diminta tidak main-main dalam menyusun laporannya tersebut.
Adapun, komisioner KPU Sulsel, Upi Hastati mengatakan, regulasi atau sistem pelaporan dana kampanye belum ada karena Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) mengenai hal itu belum diterbitkan.
"Tetapi biasanya, regulasinya tidak jauh beda dengan regulasi pada pemilu sebelumnya," kata Upi.
Bila berkaca pada kontestasi politik yang lalu, kata dia, pelaporan dana kampanye sudah cukup patuh. Upi mengatakan, parpol, caleg ataupun cakada selalu mentaati regulasi KPU.
"Pengalaman sebelumnya, peserta pemilu yang tidak menyerahkan laporan dana kampanye tidak akan langsung dilantik bila terpilih. Tapi, saya melihat pelaporan dana kampanye sudah sangat patuh karena ini merupakan bagian yang sangat penting," ujar Upi.
Menurut Upi, untuk mengetahui penggunaan dana kampanye sesuai yang dilaporkan para peserta Pemilu, pihaknya menggandeng pihak ketika yaitu akuntan publik. Tugasnya melakukan audit terkait dana kampanye digunakan peserta Pemilu.
"Jadi yang menilai langsung akuntan publik. Lembaga eksternal yang ikut proses lelang. Jadi ada akuntan publik yang diserahkan melakukan proses audit," kata dia.
Upaya tersebut, kata Upi, lantaran laporan dana kampanye bagi peserta pemilu, ada dari partai politik dan perseorangan. Serta memiliki batasan dana kampanye yang diperbolehkan untuk digunakan.
"Kan lain lembaga, lain perseorangan. Lain juga batasan berapa nilai nominal atas nama lembaga dan atas nama pribadi," imbuh dia.
Pengamat politik dari Universitas Hasanuddin, Andi Ali Armunanto menyatakan banyaknya partai politik tidak konsisten dalam pelaporan dana kampanye karena ongkos politik sangat tinggi. Akibatnya, para peserta pemilu diduga terpaksa manipulasi data sumbangan.
"Ongkos politik sangat tinggi dan tidak ada bisnis yang menopang pendanaan partai. Partai mengharapkan biaya subsidi dari pemerintah, iuran maupun sumbangan anggota," ujar Andi Ali.
Menurut dia, beberapa partai menggunakan dana kampanye di Pemilu 2019 hampir mencapai ratusan miliar. Tapi, dalam laporan hanya beberapa menyebutkan angka yang tidak masuk akal.
Ali mendorong setiap partai politik memiliki badan usaha agar anggaran yang digunakan bisa diketahui sumber-sumbernya. Apalagi dalam setiap kegiatan parpol seperti kongres bisa menelan anggaran miliar rupiah.
"Pemerintah juga harus mendorong partai politik memiliki sumber keuangan sendiri dengan melibatkan OJK dalam transparansi anggaran," ujar dia.
Direktur Lembaga Kajian Isu-isu Strategis (LKIS) Syaifuddin mengatakan sangat perting bagi parpol dan kader partai untuk jujur, transparan dalam menyajukan data riil dana kampanye nantinya.
"Saya kira ini penting untuk menghindari adanya pemodal di balik kontestan. Selain dari itu untuk menghindari money politik," ujarnya.
Aktivis HMI itu mengatakan, warning tersebut bagi partai politik menjelang Pemilu 2024 merupakan salah satu langkah yang positif untuk memangkas mitos politik uang. Karena kalau proses politiknya sudah rawan dengan uang, maka hasilnya akan melahirkan perilaku koruptif di berbagai lembaga negara, termasuk di tubuh partai politik.
Dia mengatakan, salah satu tujuan reformasi 1998 adalah sikap transparansi dalam membangun demokrasi yang bersih dan bermartabat, bukan untuk melanggengkan politik uang. "Kontestasi 2024 adalah momentum mengembalikan khittah demokrasi yang sesungguhnya," ujar dia.
Sementara, Direktur Nurani Strategic Consulting, Nurmal Idrus, mengatakan Bawaslu punya keterbatasan dalam mengawasi dana kampanye. Menurut dia, hampir semua partai tak menggunakan dana kampanye seperti yang dilaporkan ke KPU. Ini terjadi karena ada banyak pembiayaan kampanye yang tak masuk dalam pelaporan dana kampanye.
"Karena aliran dananya tak melewati rekening parpol. Untuk itu, Bawaslu perlu menggandeng PPATK untuk meneropong penggunaan dana itu," imbuh dia.
Sedangkan, pakar politik dari Unismuh Makassar, Luhur Andi P menilai biaya politik yang besar memang menjadi konsekuensi dari sistem pemilihan langsung. Menurut dia, desain tata kelola kontestasi politik juga memberi ruang pembiayaan besar. Panjangnya tahapan dan sistem kandidasi membuka peluang terjadinya belanja politik yang mahal.
"Praktiknya sekarang, hubungan kandidat dan partai politik adalah relasi transaksional," kata Luhur.
Akademisi Unismuh Makassar ini mengatakan, pembiayaan yang mahal ini bisa di kapitalisasi para elit partai politik untuk praktek-kontek transaksional. Seperti melalui biaya pendaftaran, biaya survei atau biaya fit and proper test. Meskipun sudah ada regulasi yang membatasi praktek mahar politik, tetapi faktanya hal itu belum cukup menghilangkan praktek-praktek transaksi.
"Banyak juga kandidat yang melakukan belanja politik melampaui jumlah kekayaan yang dimiliki," imbuh Luhur.
Ia menyarankan, ke depan, untuk menekan biaya politik yang mahal maka sistem kandidasi mesti di sederhanakan. Sangat Penting untuk melakukan re-ideologisasi di partai politik.
"Partai politik harus didorong lebih objektif dan transparan dalam menentukan usungan. Sehingga tidak ada lagi ruang untuk praktik rent-seeking yang merugikan kandidat," kata Luhur. (Suryadi-Fahrullah/B)