MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Kasus korupsi Penyimpangan Penetapan Harga Jual Tambang Pasir Laut tahun 2020 di Galesong, Kabupaten Takalar, masih terus jadi sorotan meski telah ada yang ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sulsel.
Sorotan tersebut muncul setelah penyidik Kejati Sulsel memeriksa mantan Bupati Kabupaten Takalar, Syamsari Kitta, pada Kamis (11/05/2023) lalu, di kantor Kejati Sulsel, Jalan Urip Sumoharjo, Makassar.
Ketua Partai Gelora Sulsel tersebut dipanggil untuk dimintai keterangan atau sebagai saksi atas kasus korupsi ini. Dimana ada tiga mantan anggotanya yang ditetapkan sebagai tersangka, masing-masing mantan Kepala BPKD Takalar Gazali Mahmud juga dua mantan Kabid Pajak dan Retribusi Daerah BPKD Takalar tahun 2020, Juharman dan Hasbullah.
Adanya keterlibatan dari unsur pemerintahan di kasus ini ditanggapi Peneliti Anti Corruption Committee (ACC) Sulawesi, Ayie Asrawi. Kata dia, aparat penegak hukum (APH) dalam hal ini Kejati Sulsel harus benar-benar komitmen dalam mengungkap siapa aktor dibalik korupsi yang merugikan negara sebesar Rp7 miliar ini.
"Penegak hukum harus memeriksa semua yang terlibat. Saya yakin platform dan pola penanganan terkait kasus tambang pasir di Takalar ini sudah ada di penegak hukum, dan telah mengantongi siapa aktor yang diduga terlibat," kata Ayie saat dikonfirmasi, Minggu (21/5/2023).
"Tapi yang jadi persoalan adalah komitmen (pemberantasan korupsi) penegak hukum (Kejati Sulsel), seperti apa dan bagaimana objektivitasnya bekerja. Jangan sampai pada akhirnya kasus ini berlarut. Makanya transparansi progres sampai dimana penanganan kasusnya dan pengawasan publik menjadi penting," sambungnya.
Begitu juga dengan pengembalian uang kerugian negara di kasus ini, Ayie mengatakan, Kejati Sulsel harusnya turut mendalami keterlibatan pihak-pihak tersebut. Sebagaimana diketahui, Kejati Sulsel telah menerima pengembalian kerugian negara sebesar 100 persen dari dua perusahaan yang melakukan pengerukan pasir.
Kedua perusahaan tersebut yakni PT Alefu Karya Makmur dan PT Banteng Laut Indonesia. Dari PT Alefu Karya Makmur uang kerugian negara dikembalikan pada 6 Desember 2022 sebesar Rp4.579.003.750 dan pada 30 Januari 2023, Kejati Sulsel kembali menyita uang sebesar Rp2.000.000.000 dari PT Banteng Laut Indonesia.
"Kami mengerti semangat pemerintah maupun penegak hukum terkait pengembalian keuangan negara. Tapi pengembalian itu tidak bisa menjadi alasan berhentinya penegakan hukum, karena ini bukan kesalahan administratif. Ini tindak pidana, dimana ada kerugian keuangan negara dan dugaan adanya pemufakatan jahat dalam harga jual itu," sebutnya.
Sebelumnya Aspidsus Kejati Sulsel, Yudi Triadi berjanji akan terus mendalami keterkaitan sejumlah pihak dalam kasus korupsi ini meskipun telah ada tiga orang yang ditetapkan sebagai tersangka.
Hanya saja, dalam penetapan tersangka pihaknya disebut butuh ketelitian dan kehati-hatian, termasuk harus memiliki alat bukti yang kuat. "Pastinya kita dalam penanganan perkara cukup berhati-hati, kemudian harus benar benar menemukan alat bukti," kata Yudi sebelumnya.
Diapun tak menampik saat ditanyai, apakah ada kemungkinan penambahan tersangka baru dalam kasus ini. Apalagi jika merujuk pada Pasal 4 Undang-undang Tipikor jelas menyebut pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan pidananya.
"Yah, tentunya tidak menutup kemungkinan. Kan saya sampaikan tadi di awal masih berjalan ini (proses penyidikan)," ujarnya. (isak/B)