Sebelumnya diberitakan, penyidikan Kejati Sulsel juga turut mendalami adanya dugaan keterlibatan sejumlah oknum BPN Kabupaten Wajo. Seperti dugaan rekayasa penerbitan Surat Pernyataan Penguasaan Fisik Bidang Tanah (Sporadik) terhadap 246 bidang tanah pada lokasi pembagunan proyek strategis nasional itu.
Di mana pada tahun 2015, BBWS Pompengan Provinsi Sulsel telah meminta kepada pihak BPN Kabupaten Wajo, agar menyediakan lahan pembangunan fisik bendungan di Kecamatan Gilireng, Wajo.
Bahkan berdasarkan Surat Keputusan (SK) Gubernur Sulsel, lokasi pengadaan tanah tersebut sebagian wilayahnya berada pada Kawasan Hutan Produksi Tetap (HPT), Lapaiepa dan Lapantungo yang terletak di Desa Paselloreng, Wajo.
Lalu dalam proses itulah ada perubahan Kawasan Hutan dalam rangka review Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) Sulsel.
Hingga akhirnya pada tanggal 28 Mei 2019, diterbitkan lah Surat Keputusan (SK) Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI, tentang perubahan kawasan Hutan menjadi bukan Hutan, dengan Kawasan Hutan seluas 91.337 HA. Perubahan fungsi kawasan hutan seluas + 84.032 HA dan penunjukan bukan kawasan hutan menjadi kawasan hutan seluas + 1.838 HA.
Kawasan tersebut dikeluarkanlah untuk dijadikan lokasi pembangunan proyek bendungan Paselloreng. Hanya saja, dalam proses pembangunannya terendus jika ada sejumlah oknum pejabat di Kantor BPN Kabupaten Wajo, yang diduga melakukan penerbitan sporadik fiktif, dengan cara merekayasa data kepemilikan 246 bidang tanah pada tanggal 15 April 2021.
Sporadik yang dinilai fiktif itu yang kemudian diserahkan secara diam-diam kepada masyarakat, dan Kepala Desa Paselloreng dan Kepala Desa Arajang untuk ditandatangani. Sporadik tersebut diduga kuat direkayasa seolah-olah 246 bidang tanah itu adalah milik masyarakat yang telah lama dikuasai. Padahal faktanya, sejak dulu tanah yang diklaim itu adalah kawasan hutan.