Pilih Debat di Kampus

  • Bagikan
ILUSTRASI

Ketua Badan Pemenangan Pemilu Partai Persatuan Pembangunan Sulsel, Yusran Sofyan menilai kampus seharusnya netral dari kepentingan politik.

"Kampus itu wilayah akademik. Seharusnya menjadi tempat netral," ujar Yusran.

Yusran mengatakan, dibutuhkan regulasi dari penyelenggara pemilu untuk mengatur semua itu agar kampus tetap menjadi wilayah netral. "Biarlah kampus bermartabat sebagai wilayah akademik," imbuh dia.

Mantan wakil ketua DPRD Sulsel ini menyebutkan sosialisasi maupun kampanye di kampus dinilai tidak penting dan tidak dibutuhkan untuk memperkenalkan partai.

"Tidak dibutuhkan, karena pemilih kampus orang-orangnya sudah cerdas, mereka para intelektual," ucapnya.

Jika Parpol leluasa melakukan sosialisasi di kampus maka kalangan intelektual bisa berpandangan berbeda-beda terhadap peserta Pemilu.

"Kami hanya membutuhkan orang-orang yang ada di dalam kampus berpikir secara objektif dalam menentukan pilihan. Mereka ini memiliki argumen yang kuat dalam setiap pemilu," imbuh dia.

Pengamat politik dari Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar, Firdaus Muhammad mengapresiasi langkah KPU memberikan ruang kepada perguruan tinggi untuk menjadi arena sosialisasi atau kampanye bagi peserta pemilu.

"Kami apresiasi kampanye di kampus, tapi tidak membawa simbol-simbol partai. Sebab di kampus itu mahasiswa pemilih potensial. Harus diingat mahasiswa itu pemilih kritis," kata Firdaus.

Menurut dia, mahasiswa masuk kategori pemilih dengan jumlah mencapai 52 persen. dengan begitu, kata dia, apabila ceruk ini tidak tersentuh, maka partisipasi pemilih nantinya akan rendah.

"Jadi kalau peserta pemilu masuk kampus, akan memberi efek untuk meningkatkan partisipasi pemilih," ujar Firdaus.

Meski begitu, kata Firdaus, pihak kampus juga harus tetap netral untuk menghindari risiko polarisasi dan intrik yang dilakukan oleh peserta pemilu.
"Makanya harus ada kerja sama KPU dan Bawaslu dalam bentuk pengawasan," kata dia.

Firdaus menyarankan agar peserta pemilu yang masuk di lingkup kampus lebih kepada edukasi pemilih dan menyampaikan hal-hal positif terkait demokrasi.

"Peserta pemilu harus siap mental untuk mendapatkan kritik karena gagasan yang dibawa bisa saja dibantah," ucap dia.

Pakar hukum tata negara dan konstitusi dari Universitas Muslim Indonesia Fahri Bachmid mendorong debat peserta pemilu khususnya capres dan cawapres dapat digelar di kampus, sebab kampus adalah laboratorium pengetahuan dan intelektual.

"Sehingga debat capres/cawapres di kampus dinilai tepat mengukur kualitas calon pemimpin bangsa," kata Fahri.

Menurut dia, kampus sebagai laboratorium pengetahuan serta intelektual dengan berhimpunnya para cendekia agar dapat memainkan peran-peran konstruktif akademik dalam proses konsolidasi demokrasi demi kemajuan serta perkembangan demokrasi konstitusional di Indonesia.

Oleh sebab itu, Fahri menawarkan ke depan para capres dan cawapres bisa berdebat di kampus. menurut dia, capres/cawapres dapat dihadirkan atau minimal hadir pada mimbar-mimbar akademik untuk mengeksplorasi gagasan yang diusung.

"Supaya pandangan para capres itu dapat diperdebatkan secara terbuka dan terukur," ucap Fahri. (*)

  • Bagikan

Exit mobile version