Hingga akhirnya pada tanggal 28 Mei 2019, diterbitkan lah Surat Keputusan (SK) Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI, tentang perubahan kawasan Hutan menjadi bukan Hutan, dengan Kawasan Hutan seluas 91.337 HA. Perubahan fungsi kawasan hutan seluas + 84.032 HA dan penunjukan bukan kawasan hutan menjadi kawasan hutan seluas + 1.838 HA.
Kawasan tersebut dikeluarkanlah untuk dijadikan lokasi pembangunan proyek bendungan Paselloreng. Hanya saja, dalam proses pembangunannya terendus jika ada sejumlah oknum pejabat di Kantor BPN Kabupaten Wajo, yang diduga melakukan penerbitan sporadik fiktif, dengan cara merekayasa data kepemilikan 246 bidang tanah pada tanggal 15 April 2021.
Sporadik yang dinilai fiktif itu yang kemudian diserahkan secara diam-diam kepada masyarakat, dan Kepala Desa Paselloreng dan Kepala Desa Arajang untuk ditandatangani. Sporadik tersebut diduga kuat direkayasa seolah-olah 246 bidang tanah itu adalah milik masyarakat yang telah lama dikuasai. Padahal faktanya, sejak dulu tanah yang diklaim itu adalah kawasan hutan.
Bahkan berdasarkan sporadik yang diterbitkan tersebut diketahui telah mendapatkan uang pembayaran ganti rugi. Pembayaran ganti rugi lahan itu dibayarkan setelah dianggap memenuhi syarat oleh Tim Satgas A dan Satgas B dari BPN Kabupaten Wajo.
Kemudian, dituangkan dalam daftar nominatif pengadaan tanah Bendungan Paselloreng yang selanjutnya diserahkan kepada Konsultan Jasa Penilai Publik (KJPP) untuk menilai harga tanah dan tanaman serta jenis dan jumlahnya.
Hanya saja, dalam pelaksanaan KJPP yang ditunjuk itu hanya menilai harga tanah dan tidak melakukan verifikasi jenis dan jumlah tanaman, tetapi hanya berdasarkan sampel saja. Berdasarkan hasil penilaian harga tanah dan tanaman tersebut, BBWS Pompengan meminta Lembaga Manajemen Aset Negara (LMAN) Kementerian Keuangan sebagai lembaga yang membiayai pengadaan tanah tersebut.
Sehingga LMAN melakukan pembayaran terhadap bidang tanah sebanyak 241 bidang tanah seluas + 70,958 HA dengan total pembayaran sebesar Rp75,63 miliar.
Konsultan jasa penilai publik dinilai tidak melakukan penelusuran secara utuh terkait tanah dan tanaman yang ditunjuk, mereka hanya melakukan secara sampling, tidak menyeluruh. (Isak/C)