“Dan yang lebih penting daripada itu, untuk bisa di-follow up pada tahun tahun berikutnya dengan mudah, dengan instruksi instruksi yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat,” imbuh dia.
“Nah itu berbeda kalau antara rezim pusat dengan rezim daerah provinsi dan kabupaten provinsi itu berjarak jauh, jadi itu sangat tidak bagus dalam konteks pembangunan kita depan. Jadi tidak mengapa kalau kita mau memajukan penyelenggaraan Pilkada itu dimajukan pada bulan September pandangan kami. Itu justru semakin bagus karena antara RPJMN dan RPJMD itu bisa dibuat sama indikatornya,” tegas Syamsurizal.
Sebelumnya, Mendagri Tito Karnavian pada saat rapat menyatakan bahwa kondisi nasional saat ini terdapat 101 daerah dan 4 daerah otonomi baru di Papua dan Papua Barat yang diisi oleh Pejabat Kepala Daerah sejak tahun 2022 dan terdapat 170 daerah yang diisi oleh Penjabat Kepala Daerah pada tahun 2023 serta terdapat 270 Kepala Daerah hasil pemilihan tahun 2020 yang akan berakhir pada 31 Desember 2024.
Berdasarkan data tersebut, maka terdapat potensi akan terjadi kekosongan Kepala Daerah pada 1 Januari 2025 dan jika ini terjadi maka pada 1 Januari 2025 terdapat 545 daerah tidak memiliki Kepala Daerah definitif hasil Pilkada. Oleh karena itu, Mendagri berpandangan perlu diambil langkah-langkah yang bersifat strategis dan mendesak untuk menghindari kekosongan kepala daerah pada 1 Januari 2025.
Terlebih lagi, adanya perbedaan kewenangan dan legitimasi antara kepala daerah definitif hasil Pilkada dengan Penjabat Kepala Daerah. “Untuk mengantisipasi kekosongan kekosongan Kepala Daerah 1 Januari 2025, maka perlu dipastikan bahwa seyogyanya paling lambat 1 Januari 2025 Kepala Daerah hasil Pilkada Serentak Tahun 2024 mayoritas harus sudah dilantik. Dalam hal ini, perlu adanya pengaturan mengenai batas akhir pelaksanaan pelantikan bagi Kepala Daerah hasil Pilkada Tahun 2024,” usul Mendagri. (*)