Oleh: Ema Husain
MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Kampanye Pilpres yang menyuguhkan debat antar Capres dan Cawapres merupakan tontonan yang menarik untuk dibincangkan oleh para pendukung dan tim sukses maupun Parpol pengusung. Sehingga Pilpres serentak tahun ini lebih didominasi oleh Pilpres daripada Pileg.
Sebagaimana diketahui pemilihan 14 pebruari 2024 bukan hanya Pilpres tapi ada pemilihan DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota serta DPD RI. Apakah kurangnya Pileg diperbincangkan akan turut mempengaruhi partisipasi pemilih, atau angka golongan putih (Golput) akan tinggi?
Golput kerap terjadi menjelang penyelenggaraan pemilu di Indonesia. Bisa karena masyarakat tidak percaya terhadap Partai politik (Parpol) maupun terhadap kandidat yang diusung Parpol. Hal tersebut adalah konsekuensi dari memilih itu merupakan hak, bukan kewajiban.
Ada perbedaan fenomena golongan putih (Golput) atau disebut juga `No Voting Decision’ pada masa politik di orde baru dan masa politik di era reformasi. Di masa orde baru, ajakan golput dimaksudkan sebagai bentuk perlawanan politik terhadap arogansi pemerintah/ABRI yang dianggap tidak menjunjung asas demokrasi. Sedang pada era reformasi yang lebih demokratis, pengertian golput merupakan bentuk dari fenomena dalam demokrasi
Makna Golput oleh Arief Budiman sebagai pemrakarsa, masyarakat tidak dilarang untuk mendatangi TPS-TPS, tapi masyarakat dihimbau untuk memilih atau mencoblos bagian putih dari kertas suara bukan tanda gambar Partai Politik peserta Pemilu.
Sehingga secara otomatis kertas suara tersebut dinyatakan batal atau tidak sah. Langkah mereka didasari pada pandangan bahwa aturan main berdemokrasi tidak ditegakkan, cenderung diinjak-injak.
Dalam perkembangannya, keputusan untuk tidak memilih (golput) ternyata semakin rumit. Seorang pemilih bersikap tidak memilih dengan cara tidak mendatangi TPS pada tanggal yang telah ditetapkan. Pemilih (voter) tadi sudah terdaftar sebagai pemilih dalam daftar pemilih tetap (DPT), akan tetapi dengan sengaja tidak hadir ke lokasi pemungutan suara ketika hari pelaksanaan pemilihan.
Tentu saja kertas suara yang tidak digunakan tadi dianggap tidak sah. Sikap untuk tidak memilih (no vote) semakin rumit untuk dijelaskan. Mereka (calon pemilih) akan menolak untuk dicatatkan atau didaftarkan namanya sebagai calon pemilih. Caranya bisa dengan menolak untuk dilakukan pendataan ulang atau tidak mengisi formulir calon pemilih.
Status sikap mereka yang tidak memilih dengan cara seperti ini tentunya tidak berbeda dengan mereka calon pemilih yang tidak mengetahui proses pendataan ulang sehingga namanya menjadi tidak tercantum dalam daftar pemilih resmi.
Dengan demikian, orang-orang yang berhalangan hadir di Tempat Pemilihan Suara (TPS) hanya karena alasan teknis, seperti jauhnya TPS atau terluput dari pendaftaran, otomatis dikeluarkan dari kategori golput. Begitu pula persyaratan yang diperlukan untuk menjadi golput bukan lagi sekedar memiliki rasa enggan atau malas ke TPS tanpa maksud yang jelas.
Pengecualian kedua golongan ini dari istilah golput tidak hanya mengkategorisasikan wawasan mengenai kelompok itu, melainkan juga sekaligus memperkecil kemungkinan terjadinya pengaburan makna, baik di sengaja maupun tidak.
Sejak era reformasi trend golput cendrung meningkat. Pileg 1999 angka golput mencapai 6,4%, pileg 2004 meningkat menjadi 15,9% dan pileg 2009 mencapai angka 29,1%. Adapun pileg 2014 angka golput mencapai 24,89%, bandingkan dengan perolehan suara tertinggi PDIP yang hanya 18,95%.
Kemudian angka Golput pada Pileg 2019 mencapai 19,24% yang berarti mengalami penurunan dibanding Pileg sebelumnya. Angka Golput pada Pieg 2024 sangat ditentukan oleh bagaimana Parpol dan calegnya mampu memaksimalkan sosialisasi agar pemilih tertarik untuk mencoblos.
Pada saat ini Golput disebabkan oleh stigma politik itu kotor, jahat, menghalalkan segala cara dan lain sebagainya memperburuk kepercayaan masyarakat terhadap politik sehingga membuat masyarakat enggan untuk menggunakan hak pilih.
Stigma ini terbentuk karena tabiat sebagian politisi yang masuk pada kategori politik instan. Politik dimana baru mendekati masyarakat ketika akan ada agenda politik seperti pemilu. Maka kondisi ini meruntuhkan kepercayaan masyarakat pada politisi.
Dalam masyarakat yang majemuk seperti Indonesia, upaya membangun demokrasi yang berkeadilan dan berkesetaraan bukan masalah sederhana. Demokrasi, terlepas dari pemaknaan yang beragam, esensinya adalah membangun system pemerintahan yang didasarkan pada kedaulatan rakyat.
Demokrasi adalah pilihan sistim politik yang menjadi kesepakatan bersama di Indonesia sebagai sarana untuk mencapai tujuan yang lebih mulia yaitu kesejahteraan rakyat.
Dalam UUD 1945 pada pasal 28 yang berbunyi “kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang”.
Sementara itu ketegasan terhadap Hak Sipil Politik tertuang dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 mengenai jaminan hak-hak sipil dan politik, dimana poin-poin hak yang harus dilindungi oleh negara mengenai hak berpendapat, hak berserikat, hak memilih dan dipilih, hak sama dihadapan hukum dan pemerintahan, hak mendapatkan keadilan, ini menjadi dasar atas jaminan terhadap partisipasi politik masyarakat. (*)