Memanas Sampai ke Kampus

  • Bagikan

MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Bola api politik menjelang Pemilihan Umum 2024 ikut menggelinding ke sivitas akademika perguruan tinggi negeri dan swasta.

Setelah Forum Guru Besar dan Dosen dari berbagai kampus deklarasi menyelamatkan demokrasi, giliran sekumpulan pimpinan perguruan tinggi yang mengatasnamakan diri Forum Rektor Indonesia, turun tangan deklarasi untuk mengawal pemilu damai. Universitas Hasanuddin menjadi tuan rumah pertemuan 12 rektor yang turut hadir tersebut.

Forum Rektor Indonesia (FRI) diketuai oleh Profesor Nurhasan yang juga menjabat sebagai Rektor Universitas Negeri Surabaya. Menurut dia, rektor yang masuk dalam barisan tersebut merancang dan menyusun poin-poin deklarasi untuk menciptakan pemilu damai yang akan diselenggarakan pada 14 Februari 2024.

"Ada lima hal yang kami sampaikan dalam bentuk deklarasi agar tidak terjadi sesuatu yang tak diinginkan," ujar Nur Hasan dsi Hotel UNiversitas Hasanuddin, Jalan Perintis Kemerdekaan, akhir pekan lalu.

Nur Hasan mengatakan deklarasi pemilu aman dan damai dihadiri sejumlah pimpinan perguruan tinggi dalam rangka menjaga persatuan dan kesatuan dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Lima isi deklarasi dan rektor yang hadir bisa dilihat di bahan grafis.

"Forum Rektor Indonesia menyerukan yang pada intinya pelaksanaan Pemilu 2024 diharapkan berlangsung damai, aman, dan berjalan sesuai dengan harapan kita semua," imbuh dia.

Sebelumnya, deklarasi Forum Rektor itu dijadwalkan digelar di Rumah Jabatan Gubernur Sulawesi Selatan. NUr Hasan mengakui, pihaknya sudah tiba di rumah jabatan tersebut dan sempat disuguhi hidangan makan malam.
"Tapi kami kemudian memilih kembali ke Hotel Unhas untuk segera membacakan poin-poin deklarasi," imbuh dia.

Nur Hasan menolak merinci alasan membatalkan pembacaan deklarasi di Rumah Jabatan Gubernur Sulawesi Selatan tersebut.

FRI menyerukan kepada masyarakat umum dan Akademika Kampus serta berbagai kalangan agar mengawal jalannya Pemilu 2024. Forum yang menghimpun pimpinan perguruan tinggi negeri dan swasta itu melakukan deklarasi dan merekomendasikan sejumlah poin-poin penting, agar tercapainya pemilu yang langsung, bebas rahasia, jujur dan adil.

Dari lima poin yang ditandatangani oleh 12 Pimpinan Perguruan Tinggi se-Indonesia yang mewakili semua kampus. Salah satu poin diantaranya, "Kampus menjaga kondusifitas dan turut memberikan edukasi kepada komponen bangsa demi terciptanya pemilu yang jujur. adil, aman dan damai".

Forum Rektor tersebut terbentuk seusai para guru besar dan dosen dari kampus-kampus ternama di Indonesia mengirimkan sejumlah petisi kepada pemerintah, khususnya Presiden Joko Widodo atau Jokowi. Petisi-petisi tersebut memiliki narasi yang seragam, yaitu mengingatkan pemerintah agar menggelar Pemilu 2024 secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.

Bahkan terbaru, Asosiasi Perguruan Tinggi Katolik Indonesia (APTIK) meminta agar Presiden Jokowi berpegang teguh pada sumpah jabatan sebagai presiden. Asosiasi yang beranggotakan rektor dan ketua perguruan tinggi Katolik ini juga mendesak agar Jokowi menjunjung tinggi etika dalam bekerja sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan.

Nur Hasan menilai upaya yang dilakukan guru besar dan dosen dari berbagai perguruan tinggi tersebut merupakan bagian dari kebebasan berdemokrasi yang disampaikan secara prosedural dan kebebasan berpendapat.

"Sebagai wadah komunikasi lintas perguruan tinggi baik negeri maupun swasta, tentu menghargai kebebasan berpendapat itu sebagai bagian dari otonomi kampus dan dijamin oleh undang-undang," imbuh dia.

Dia menegaskan, tidak ada salahnya para sektoral lintas kampus menyampaikan pendapat di muka umum selama masih dalam koridor kebebasan akademik, objektif, didasari nilai-nilai etika akademik, dan untuk kebaikan bangsa Indonesia.

"Yang tidak boleh adalah kebebasan berpendapat sudah mengarah pada sikap tendensius. Menghujat, memfitnah, dan menghasut yang jauh dari etika akademik apalagi sampai dengan anarki, ini tidak boleh," imbuh dia.

Adapun tuan rumah, Rektor Unhas, Profesor Jamaluddin Jompa mengatakan deklarasi ini untuk menyikapi pesta demokrasi yang akan berlangsung 10 hari lagi yang diharapkan akan berjalan aman dan damai.

"Deklarasi damai yang digelar ini telah diketahui oleh pengurus dan anggota FRI se-Indonesia," kata Jamaluddin.
Menurut guru besar Ilmu Kelautan ini, seruan deklarasi Pemilu Damai 2014 adalah bagian dari sikap dari para pengurus Forum Rektor Indonesia untuk menghadapi pemilu.

"Jadi, yang kita harapkan pemilu berjalan dengan baik, berjalan dengan aman damai, penuh kekeluargaan, dan penuh kegembiraan," kata Jamaluddin.

Wakil Rektor Bidang Kerja Sama Unhas, Profesor Adi Maulana mengatakan, pertemuan rektor tersebut merupakan ajang bergengsi yang diikuti oleh para pimpinan perguruan tinggi terkemuka dari seluruh Indonesia.

"Tujuan utama dari pertemuan ini adalah untuk membahas isu strategis dalam dunia pendidikan tinggi, berbagi pengalaman, serta merumuskan langkah strategis untuk meningkatkan kualitas pendidikan tinggi Indonesia," ujar Adi.

Dia menjelaskan FRI di Unhas diharapkan tidak hanya menjadi wadah diskusi akademis, tetapi juga sebagai momentum untuk mempererat kerja sama antarperguruan tinggi di Indonesia. Kegiatan ini akan banyak membahas hal-hal seperti peningkatan aksesibilitas pendidikan tinggi.

Tidak hanya itu, pada pertemuan ini jajaran pimpinan perguruan tinggi akan melakukan deklarasi Pemilu Damai 2024.

Secara umum, Forum Rektor Indonesia merupakan platform lembaga normatif dan wadah komunikasi serta pertukaran ide, gagasan dan strategi antar pimpinan perguruan tinggi Indonesia yang memberikan alternatif solusi.

"Dan juga saran strategi kepada pemerintah dan masyarakat terkait dengan perkembangan, regulasi hingga peningkatan pendidikan," ujar dia.

Pada pertengahan pekan lalu, Forum Guru Besar dan Dosen dari Universitas Hasanuddin melayangkan petisi dan pernyataan sikap kepada Presiden Jokowi mengenai situasi politik terkini jelang Pemilu 2024.

Gerakan guru besar dan dosen Unhas tersebut mengikuti gerakan serupa yang sebelumnya telah dilancarkan oleh Universitas Gajah Madah (UGM), Universitas Islam Indonesia (UII), dan Universitas Indonesia (UI).

Deklarasi dan seruan dari akademisi Unhas ini dilakukan setelah calon presiden Prabowo Subianto menggelar silaturahmi dan safari politik bersama tim dan relawan di GOR Sudiang Makassar.

Salah satu deklarator, Profesor Amran Razak mengatakan tujuan deklarasi itu yakni mengingatkan kepada pemangku kepemimpinan untuk menjaga demokrasi.

"Reformasi harus kembali ke jalan yang benar. Saya kira dalam konstelasi politik ada berbagai macam pendekatan tetapi kita punya pijakan fundamental dalam berbangsa dan bernegara," ujar Amran.

Menurut dia, bagaimana demokrasi ini tetap baik untuk anak bangsa di masa mendatang, kalau demokrasi ini susah dipertanggungjawabkan maka susah untuk menjadi bangsa yang bermartabat.

Adapun pernyataan sikap forum guru besar dan dosen Unhas yakni senantiasa menjaga dan mempertahankan Pancasila dan UUD 1945 dalam pelaksanaan pemilu sebagai instrumen demokrasi. Mengingatkan Presiden Jokowi dan semua pejabat negara, aparat hukum, dan aktor politik yang berada di kabinet presiden untuk tetap berada pada koridor demokrasi serta mengedepankan nilai-nilai kerakyatan dan keadilan sosial serta rasa nyaman dalam berdemokrasi.

Meminta KPU, Bawaslu, dan DKPP selaku penyelenggara pemilu agar bekerja secara profesional dan bersungguh-sungguh sesuai peraturan yang berlaku. Penyelenggara pemilu senantiasa menjunjung tinggi prinsip independen, transparan, adil, jujur, tidak berpihak, dan teguh menghadapi intervensi pihak manapun.

Menyerukan kepada masyarakat dan elemen bangsa secara bersama sama mewujudkan iklim demokrasi yang sehat dan bermartabat untuk memastikan pemilu berjalan secara jujur presiden aman agar hasil pemilu mendapat legitimasi.

Menanggapi petisi yang disampaikan oleh beberapa guru besar Unhas dan dosen, Rektor Unhas Profesor Jamaluddin Jompa mengeluarkan Maklumat Rektor Nomor: 05426/UN4.1./HK.05/2024. Itu disampaikan menanggapi pernyataan sikap akademisi Unhas yang telah viral.

Pengamat komunikasi politik dari Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar, Profesor Firdaus Muhammad menuturkan apa yang terjadi belakangan ini merupakan suara moral dari para kaum intelektual.

"Suara moral para kaum intelektual itu cerminan keprihatinan terhadap proses estafet kepemimpinan yang nilainya harus tetap pada koridor demokrasi yang benar," ujar Firdaus.

Dengan begitu, kata dia, langkah tersebut harus didukung dan patut diapresiasi. Namun tentunya harus mengendapkan prinsip-prinsip demokrasi yaitu menghargai dan menghormati setiap pandangan yang disuarakan baik itu individu maupun secara kelembagaan.

"Itu langkah yang tepat dan patut diapresiasi dan didukung demi masa depan negara ini. Soal pandangan berbeda dari forum rektor itu dinamika saja, ada jalur birokrasi kampus dan ada intelektual independen juga di kampus, intinya saling menghargai di jalur yang beda," imbuh Firdaus.

Adapun, pengamat politik dari Universitas Hasanuddin, Profesor Sukri Tamma mengatakan dalam negara demokrasi setiap individu atau institusi berhak menyuarakan pandangannya.

"Saya kira perlu dilihat secara objektif bahwa dalam konteks demokrasi semua orang dihormati sikap dan cara pandangnya, apapun latar belakangnya tetap harus dihormati. Sehingga pandangan-pandangan atau pernyataan sikap dan seterusnya dari berbagai orang tentu dianggap sebuah wujud dari ekspresi dan itu harus dihormati dan dihargai sebagai bagian dari kita menghargai demokrasi," kata Sukri.

Sukri menyebut, perbedaan pandangan tersebut bukan sebagai dualisme namun harus dilihat secara objektif. Apakah pernyataan itu disampaikan secara individu yang tergabung dalam satu kelompok atau disampaikan atas nama institusi?

Menurut dia, pernyataan yang mengatasnamakan institusi harus dilihat siapa yang menyampaikan, apakah dia pimpinan atau pihak lain yang diberi kewenangan untuk institusi tersebut? Sehingga berbeda dengan pernyataan sekelompok orang yang berbicara atas nama individu meskipun secara kebetulan mereka berada dalam satu institusi yang sama.

"Jadi sebenarnya ini bukan dualisme, mungkin bisa dilihat sebagai upaya memilah bahwa pernyataan individu yang mungkin baginya atau punya afiliasi atau punya keterkaitan dengan institusi tertentu tidak serta merta dianggap atau dijadikan sebagai pernyataan institusi, itu yang penting untuk kita lihat. Jadi jangan misalkan ada orang karena ada kaitannya dengan siapa kemudian tiba-tiba menyatakan ini sebagai dia, itu tidak bisa dianggap seperti itu," ujar dia.

"Karena setiap orang berhak menyatakan pendapat, tapi sebagai institusi tentu ada pertimbangan, ada refleksi khusus dan ada simbol-simbol khusus yang menyatakan. Misalnya kalau dia institusi, atau pimpinan tertinggi dan seterusnya menyatakan itu dalam rangka institusi. Jadi kalau kita lihat maka sebenarnya bukan dualisme, tapi kita melihat dalam ruang yang berbeda. Tidak bisa disebut mewakili institusi karena bukan simbol institusi yang diberikan wewenang untuk mewakili institusi itu," sambung Sukri.

Pada prinsipnya, kata dia, pernyataan-pernyataan yang disampaikan itu adalah bentuk dari upaya mengingatkan semua pihak untuk menjaga demokrasi yang sudah bangsa ini Indonesia jalani. Termasuk menyampaikan suatu hal yang mungkin saja kata dia berpotensi kurang baik bagi masyarakat.

"Itu saja prinsip dasarnya, karena tentu kita semua, masyarakat punya cara pandang dan penilaian atas apa yang terjadi dan berkembang saat ini. Dan tetu kita sebagai individu memiliki tanggapan dan itu boleh kita nyatakan. Tapi sekali lagi dalam konteks institusi itu harus disepakati atau harus disimbolkan oleh mereka-mereka yang diberikan kewenangan," tutur Sukri. (suryadi-isak pasa'buan/C)

  • Bagikan