Oleh: Darussalam Syamsuddin
MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Peristiwa Isra Mikraj dapat ditemukan keterangannya dalam Al-Qur'an surah Al-Isra ayat 1 dan surah An-Najm ayat 13-14. Isra adalah perjalanan yang dilakukan di malam hari. Dalam bahasa agama, malam hari identik dengan kegelapan yang menawarkan keheningan.
Setiap malam seorang mukmin mendapat panggilan untuk melakukan Isra yakni perjalanan yang cukup berat karena harus menepis godaan kenikmatan ragawi berupa tidur dan buaian mimpi.
Para psikolog menjelaskan bahwa siapa saja yang membiasakan diri bangun di malam hari sembari merenungkan makna dan tujuan hidup dengan hati dan pikiran yang jernih, kecerdasan spiritualnya akan meningkat sehingga akan senantiasa bijak dalam menjalani kehidupan.
Mereka yang memiliki kecerdasan spiritual yang tinggi, lebih mampu menghadapi gejolak kehidupan yang terkadang tidak bersahabat, karena kedekatannya dengan Tuhan. Salah satu cara untuk memperoleh kecerdasan spiritual yang tinggi adalah dengan jalan membiasakan diri Isra yakni bangun di malam hari berzikir dan berefleksi tentang hidup serta memohon petunjuk dan bimbingan dari Tuhan.
Mereka yang memiliki kedekatan dengan Sang Pemilik Kesucian dan Keagungan yakni Tuhan, tentu akan senantiasa memperoleh kasih sayang dari-Nya, sehingga perasaan, pikiran, ucapan, dan tindakan akan senantiasa mantap, jernih, dan tenang.
Berbeda dengan mereka yang hati dan pikirannya dipenuhi oleh energi negatif, misalnya, penuh prasangka, iri hati, tidak senang melihat orang lain sukses dan bahagia, tentu akan merusak apa saja yang ada di sekelilingnya.
Spirit dan makna Isra sungguh sangat relevan bagi siapa saja yang mendambakan pencerahan hati dan pikiran agar terbebas dari pengaruh buruk kehidupan terjebak pada hedonisme. Sebagaimana yang dilakukan oleh Muhammad saw justru membaliknya dengan bangun di malam hari melakukan Isra berupa pendakian spiritual untuk menepis godaan hidup duniawi yang dilambangkan dengan gelapnya malam.
Metodologi yang ditawarkan oleh Nabi Muhammad saw agar terhindar dari obyek-obyek perburuan dunia yang sifatnya sementara adalah dengan melakukan salat apalagi salat malam yang dilakukan dengan benar dan sungguh-sungguh.
Salat yang dilakukan dengan benar dan sungguh-sungguh akan membuat orientasi hidup pelakunya semakin tinggi, menyeluruh, dan kepribadiannya akan terbentuk. Sehingga dengan mudah membedakan mana obyek perburuan dunia yang sifatnya sementara dan mana yang abadi, mana yang sejati dan mana yang palsu, mana halal dan mana yang haram.
Ketika Rasulullah saw Mikraj, dia berada pada puncak kesadaran kosmologis sehingga bumi beserta isinya dilihat sebagai sesuatu ibarat melihat sekumpulan ikan yang berada dalam akuarium, rombongan ikan itu mengira bahwa akuarium itulah pusat jagat raya. Padahal ketika akuarium itu dibuang ke laut tidak akan memiliki arti bila dibanding dengan luasnya lautan.
Menyaksikan sebahagian keagungan dan kebesaran Allah di saat Mikraj, Nabi Muhammad saw hanya mampu berucap: “segala penghormatan, kemuliaan, dan keagungan hanya milik Allah saja”.
Menurut para Sufi, betapa bahagianya Nabi Muhammad saw di saat mendapat salam dari Allah; “keselamatan, kesejahteraan dan keberkahan atasmu wahai Nabi”.
Memperoleh salam seperti ini, Nabi ingin agar umatnya pun memperoleh salam yang sama, sehingga dilanjutkan dengan “keselamatan atas hamba-hamba yang saleh”.
Masih menurut para sufi, malaikat para pemikul arasy yang menyaksikan peristiwa ini hanya mampu berucap “Kami bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, dan kami bersaksi bahwa Muhammad itu adalah Rasul Allah”.
Mikraj yang dilakukan Nabi Muhammad saw. membawa pesan bahwa mereka yang ingin terbebas dari kungkungan hedonisme hendaknya keluar dari rutinitas hidup agar tidak tersandera dengan sekat-sekat ideologi, pangkat, jabatan, harta, dan popularitas. Karena ruh ilahi telah ditiupkan ke hati setiap insan, sehingga kerinduan primordial untuk kembali dekat dan berkumpul dengan Allah sebagai kerinduan yang didambakan setiap manusia. (*)