MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Sulawesi Selatan terus melakukan pencegahan agar tidak terjadi politik uang jelang Pemungutan Suara Ulang (PSU) di 55 tempat pemungutan suara (TPS)--sebelumnya diberitakan 49 TPS.
Sebanyak 55 TPS tersebut tersebar di 19 kabupaten kota. Toraja Utara (4 TPS), Parepare (1 TPS), Takalar (7 TPS), Sidrap (1 TPS), Selayar (3 TPS), Tana Toraja (5 TPS), Enrekang (1 TPS), Pinrang (1 TPS), Barru (1 TPS) dan Soppeng (2 TPS). Selanjutnya Palopo (4 TPS), Bone (2 TPS), Wajo (6 TPS), Jeneponto (2 TPS), Pangkep (4 TPS), Maros (2 TPS), Sinjai (5 TPS), Gowa (2 TPS) dan Makassar (2 TPS).
Komisioner Bawaslu Sulsel Saiful Jihad mengatakan memang potensi politik uang itu bisa terjadi di hari H. Namun pihaknya berupaya agar politik uang tersebut tidak terjadi saat PSU.
“Politik uang di hari H itu berpotensi terjadi dan itu bisa saja dilakukan oleh siapapun. Namun kami terus berupaya agar tidak terjadi dan kami tetap memalukan pencegahan,” kata Saiful Jihad, Senin (19/2/2024).
“Kami upayakan dan maksimalkan pencegahan pengawasan jangan sampai terjadi politik uang. Kami juga berharap kepada masyarakat agar melakukan ikut andil jika ada yang melakukan politik uang agar segera dilaporkan,” sambung dia.
Saat ini beberapa media sosial sudah memunculkan beberapa caleg yang diduga melakukan politik uang karena tim sukses mereka meminta kembali uang karena jagoannya tidak terpilih. Saiful hanya menyebutkan kepada masyarakat agar melaporkan ke Bawaslu.
“Kalau ada kejadian semestinya dilaporkan, sepanjang memenuhi syarat materil dan formil pasti kami proses,” imbuh dia.
Pengamat politik dari Universitas Hasanuddin, Profesor Andi Ali Armunanto mengatakan politik uang lebih kencang pada saat PSU dibandingkan pemilu yang dilakukan bersamaan.
“Becermin dari beberapa pengalaman, politik uang jauh lebih kencang di saat PSU. Karena PUS bisa bisa merubah perolehan suara caleg,” ujar Ali.
“Awalnya dia kalah, tapi bisa memang saat PSU dengan melakukan politik uang ini bisa berlipat-lipat,” sambung dia.
Ali menyebutkan biasanya caleg melakukan politik uang hanya Rp 100 ribu setiap kepala keluarga. Namun saat PSU bisa berkali-kali lipat bahkan lebih. “Ini dikarenakan banyak caleg yang menggantungkan nasibnya dengan melihat peluang dari PSU ini, (bisa terpilih),” ujar Ali.
Pengamat politik yang juga dari Unhas, Profesor Sukri Tamma mengatakan permainan politik uang berpotensi terjadi khusus caleg yang memiliki keyakinan bisa lolos.
"Kalau Pilpres tidak terlalu besar pengaruhnya tapi bagi caleg yang peluangnya masih terbuka apalagi caleg-caleg yang masih belum aman. Dan salah satu cara adalah suara bisa mengalami kenaikan dengan melakukan politik uang," ujar Sukri.
Dia meminta Bawaslu harus melakukan pengawasan ketat agar itu tidak terjadi. "Kalau ada PSU ada kesempatan bagi kandidat yang membutuhkan suara yang merasa belum aman (duduk di DPRD), " ujar dia.
Sementara itu, Bawaslu Kota Makassar tetap melanjutkan dugaan pelanggaran politik uang yang diduga dilakukan oleh Caleg DPR RI, Demokrat Daerah Pemilihan (Dapil) Sulsel 1, Syarifuddin Daeng Punna.
Ketua Bawaslu Kota Makassar, Dede Arwinsyah mengatakan jika pihaknya sudah meminta keterangan beberapa pihak terkait dan kini melayankan pemanggilan terhadap Syarifuddin Daeng Punna.
“Undangannya sudah dikirim hari ini (kemarin. Insyaallah dalam waktu dekat ini akan diminta keterangan dan kami juga meminta keterangan pihak terkait beberapa orang,” kata Dede.
Walau Pemilu sudah selesai, kata Dede, dugaan politik uang tersebut tetap jalan sesuai prosedur. Bawaslu memiliki masa kerja tujuh hari kerja. Jika belum tuntas maka dalam aturan ditambah tujuh hari lagi.
“Selama ada laporan yang masuk kami tidak tolak, yang penting tidak lewat 7 hari kerja plus 7 hari kerja. Di situ harus ada putusan dari hasil pemeriksaan itu, apakah dilanjutkan atau tidak (ke pidana pemilu),” imbuh dia.
Sebelumnya, Syarifuddin Daeng Punna diduga melakukan politik uang dengan membagi-bagikan uang pecahan Rp 50 ribu di Anjungan Pantai Losari beberapa pekan lalu. Praktik ini tersebar di beberapa media sosial.
Silang Pendapat Bawaslu-KPU
Silang pendapat terjadi antara Komisi Pemilihan Umum (KPU) Sulsel dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Sulsel. Bawaslu Sulsel, menyebut ada 2.000 tempat pemungutan suara (TPS) di Kota Makassar diduga melakukan pelanggaran administrasi. Pelanggaran administrasi tersebut terkait masalah logistik hingga pengamanan kotak suara.
Hal tersebut dibantah oleh anggota KPU Sulsel, Marzuki Kadir. Menurut dia, pendistribusian logistik berupa surat suara dan instrumen lainnya ke TPS, sesuai prosedur dan regulasi yang berlaku. Marzuki memastikan pendistribusian logistik terpenuhi sebelum hari pencoblosan pada 14 Februari.
"Kan menurut aturan KPU, logistik Pemilu harus sudah berada di TPS pada H-1 pencoblosan. Di Sulsel atau kota Makassar, kalau adanya keterlambatan bukan semua kebutuhan," imbuh dia.
Dia menambahkan, kendati adanya formulir C1 Plano yang kurang di sejumlah TPS saat perhitungan suara versi manual, namun pihaknya telah melakukan koordinasi sehingga dituntaskan dan ada yang ditunda. Hal itu juga tidak mengganggu jalannya penyelesaian proses perhitungan suara.
"Kami maklumi soal C1 Plano yang kurang, ada lembaran tidak tersisipkan, tapi tidak mengganggu perhitungan suara di TPS," ujar dia.
Marzuki mengatakan, kaitan dengan PSU di sejumlah daerah, termasuk Kota Makassar, KPU masih menantikan surat rujukan dari Bawaslu setempat untuk dilakukan pemungutan suara ulang sebelum tanggal 25 Februari.
"Hal ini perlu kami luruskan. Karena ada keterlambatan potensi PSU, ini rekomendasi Bawaslu Makassar belum ada soal ini. Kalau ada rujukan dari Bawaslu, maka kami laksanakan," ucap dia.
Sebelumnya, anggota Bawaslu Sulsel Saiful Jihad mengungkapkan, Bawaslu mendata ada 2.000 tempat pemungutan suara (TPS) di Kota Makassar diduga melakukan pelanggaran administrasi. Pertama terkait distribusi logistik, Makassar ini yang paling masif keterlambatan. TPS terlambat logistik, hanya 4 kecamatan yang terdistribusi logistiknya tepat waktu sehingga pemilihan bisa dimulai pukul 07.00.
"Tetapi rata-rata selain itu dilaksanakan pukul 08.00 ke atas bahkan ada pukul 9 lewat baru dimulai," kata Saiful.
Selain keterlambatan logistik, Bawaslu juga mencatat pelanggaran administrasi lainnya, yakni surat suara tertukar yang terjadi di 35 TPS di Makassar. Bahkan insiden itu baru disadari saat proses pencoblosan telah berlangsung.
Selanjutnya terkait kekurangan C1 Plano, Saiful mengatakan insiden itu dialami hampir semua TPS di Makassar. Sehingga, kata dia, saat petugas PTPS yang hendak menyalin penghitungan tidak bisa berbuat apa-apa.
"Kemudian ada beberapa yang menginisiasi sampai memfotokopi, apa segala macam, ini terlambat. Sehingga saya katakan Makassar ini yang paling banyak berkaitan dengan manajemen tata kelola distribusi logistik yang kurang rapi," imbuh dia. (fahrullah-suryadi/C)