Oleh: Ema Husain Sofyan
MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Pelaksanaan pilkada serentak sudah memasuki tahapan demi tahapan. Semua bakal calon telah sosialisasi. Tidak terkecuali kaum pria, tapi banyak juga dari kalangan perempuan. Selama ini perempuan potensial acap kali enggan menapak karier menjadi pemimpin publik seperti kepala daerah.
Bukan karena ketiadaan kapasitas maupun prestasi, namun semata-mata tantangan dalam menghadapi berita-berita mengenai stereotipe dan stigma yang memojokkan perempuan, seperti dinasti politik, maju pilkada hanya karena suami menjadi kepala daerah, aji mumpung, tidak punya pengalaman, hanya IRT dan lain sebagainya.
Pilkada serentak pada tahun 2020, jumlah calon perempuan sebanyak 10,6 persen dari jumlah peserta pilkada dengan komposisi 157 calon perempuan, laki-laki 1.329 dari total 1.486 calon, atau naiknya tipis dibanding Pilkada 2018 yang hanya 8,85 persen.
Bandingkan Pilkada 2016 dan 2017 yang jauh lebih kecil di kisaran 7 persen. Tentu saja angka tersebut sangat kecil dibanding pada pemilu legislatif yang mensyaratkan 30 persen keterwakilan perempuan.
Pengalaman pelaksanaan pilkada pada daerah dimana kepala daerah perempuan yang terpilih setelah masa jabatan suami selama dua periode selesai, ternyata tidak serta merta meneruskan atau melanjutkan gaya kepemimpinan warisan kepala daerah sebelumnya. Perempuan mampu mendorong kebijakan transformatif yang menunjukkan perbedaan gaya kepemimpinan dan orientasi kebijakan dibanding pendahulunya.
Kaum perempuan dalam ranah kepemimpinan sering dipandang sebelah mata atau tidak dianggap. Penyebabnya tentu saja karena masih kuatnya budaya patriarki yang telah dipertahankan sejak dulu. Pola pikir dan dasar pemahaman masyarakat cenderung mengindikasikan bahwa kaum laki-laki lebih mumpuni untuk menjadi pemimpin.
Sejarah telah mencatat banyak tokoh perempuan yang telah mendobrak budaya patriarki dan memperjuangkan hak-hak kaum perempuan menjadi panutan banyak orang, tidak hanya kaum perempuan tapi juga kaum pria. Mereka berjuang untuk dirinya akibat terbangunnya kesadaran akan kemajuan kaum perempuan.
Contohnya Cleopatra, Zenobia, Margaret Thatcher, Indira Gandhi, dan RA Kartini serta tokoh perempuan lainnya yang berhasil menjadi tokoh pemimpin dan memperjuangkan kesetaraan perempuan dan memprakarsai perjuangan-perjuangan hak dan keadilan bagi perempuan.
Sudah selayaknya semua pihak berupaya untuk mendorong keterwakilan perempuan dalam segala lini, termasuk partai politik yang memegang otoritas pencalonan kepala daerah untuk tidak memegang tradisi laki-laki sebagai pemimpin. Namun kesempatan itu sudah harus dibuka lebar-lebar bagi perempuan.
Perempuan bukan hanya di parlemen, tapi bagaimana perempuan bisa berkiprah menjadi kepala daerah, baik itu bupati, wali kota, dan gubernur. Dengan tampilnya perempuan sebagai kepala daerah akan lebih memahami persoalan perempuan, anak, dan keluarga.
Juga diharapkan kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak berkurang.
Tak kalah pentingnya kesejahteraan ekonomi perempuan makin membaik. Pada dasarnya kaum perempuan yang sangat memahami apa yang menjadi kepentingan perempuan, termasuk bagaimana upaya untuk memperjuangkan isu-isu perempuan dan anak. (*)