Oleh Muammar Bakry
MAKASSAR, RAKYATSULSEL -Wukuf di Arafah selalu jatuh pada Tanggal 9 Zulhijjah setiap tahunnya, Allah SWT memilih hari ganjil (al-witer) pada angka yang sempurna yakni sembilan. Durasinya terbatas saat matahari tergelincir hingga masuknya magrib.
Haji adalah Arafah, demikian sabda Nabi “Alhajju ‘Arafah”. Artinya puncak dari prosesi haji adalah wukuf di Arafah, karena tidak ada kegiatan manasik yang dilakukan secara serentak dan bersamaan dalam satu model pakaian ihram kecuali saat jamaah haji wukuf. Sebelum dan setelah wukuf tidak ada rangkaian haji dilakukan secara seragam dan serempak.
Hari Arafah adalah hari kesempuraan agama ditandai turunnya ayat “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu Jadi agama bagimu.” (Al-Maaidah: 3).
Peristiwa itu terjadi pada hari Arafah yang bertepatan hari Jum’at. Hari Jumat dan hari Arafah yang kemudian Allah SWT bersumpah “Dan yang menyaksikan (syahid) dan yang disaksikan (masyhud).” (QS. Al Buruj:3).
Hari Jum’at sebagai syahid (menyaksikan) adalah hari penciptaan manusia, lalu di hari Arafah sebagai masyhud (disaksikan), terjadi komitmen antara manusia dengan Allah SWT untuk berketurunan, sehingga Nabi dalam khutbah wada’nya di Arafah memerintahkan untuk menjaga harakat dan martabat manusia sebagai makhluk yang mulia.
Hari diampuni segala dosa, dibebaskan dari neraka dan hari yang Allah banggakan orang yang wukuf. Dari Ibnu Umar bahwa Nabi saw bersabda, “Sesungguhnya Allah SWT membanggakan penduduk Arafah di hadapan para malaikat, di siang hari Arafah. selanjutnya berfirman, ‘Lihatlah kepada hambaku. Mereka mendatangiku dengan kondisi lusuh berdebu.” (HR. Ahmad).
Bagi yang tidak melaksanakan ibadah haji dianjurkan untuk puasa di hari Arafah karena dapat menghapus dosa 2 tahun.
Diriwayatkan dari Abu Qotadah dari Rasulullah saw bahwasanya beliau ditanya tentang puasa di hari Arafah. Beliau bersabda, “Menghapuskan dosa satu tahun yang lalu dan satu tahun yang akan datang.” (HR. Muslim). Puasa Arafah dianjurkan bagi mereka yang tidak haji.
Masalahnya adalah, jika terjadi perbedaan hari dan tanggal 9 Zulhijah wukuf Arafah. Di Indonesia misalnya, menjadi kesepakatan pemerintah dan Muhammadiyah (saya sebut Muhammadiyah karena terkadang berbeda penetapan hari lebarannya dengan pemerintah), bahwa Ied Adha jatuh pada Senin 17 Juni 2024, sementara penetapan wukuf oleh pemerintah Arab Saudi jatuh pada Sabtu 14 Juni, maka lebarannya yaitu pada Ahad 16 Juni 2024.
Terjadinya perbedaan Idul Adha antara Indonesia dan Arab Saudi karena perbedaan mathla' (tempat terbitnya bulan baru atau hilal). Posisi geografis Indonesia di sebelah timur Arab Saudi, secara waktu matahari terbenam lebih dulu di Indonesia.
"Posisi hilal akhir Dzulqa'dah 1445 H di Indonesia masih berada di bawah ufuk, sehingga tidak bisa dirukyat (dilihat). Matahari di Saudi terbenam sekitar empat jam lebih lambat di banding Indonesia.
Jadi ada perbedaan tanggal 9 Zulhijah versi Indonesia dan Arab Saudi.
Untuk memperoleh kemuliaan Arafah, apakah kita puasa Arafah versi Saudi atau Indonesia?
Ulama sepakat bahwa bahwa mathla’ masing-masing negara menjadi acuan dalam penetapan Ied Adha maupun Ied Fitri. Negara memiliki otoritas dalam menetapkan penentuan harinya.
Jadi bagi yang ingin melaksanakan puasa Tarwiyah dan Arafah (8 dan 9 Zulhijah) dipastikan bahwa ketetapan pemerintah Indonesia menjadi acuannya. Sebab, waktu puasa dan shalat ditetapkan secara lokal berdasakan kondisi negara masing-masing. Fadilah keutamaannya sangat fleksibel sesuai dengan kondisi waktu dan tempat.
Kita puasa Arafah yang pasti di tanggal 9 Zulhijah yakni jatuh pada hari Ahad 16 Juni 2024 versi Indonesia. Perbedaan Indonesia dan Arab Saudi menunjukkan bahwa kemuliaan hari Arafah sangat fleksibel dan bersifat lokal. (*)