Oleh: Darussalam Syamsuddin
MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Pada satu kesempatan Rasulullah saw berpesan; “apabila perzinahan sudah dilakukan secara terang-terangan, akan terjadi banyak kematian tiba-tiba. Jika transaksi dilakukan dengan tidak jujur, Allah akan menyiksa mereka dengan tahun-tahun kekeringan dan kekurangan. Jika mereka menahan zakatnya, bumi pun akan menahan keberkahannya dari tanaman, buah-buahan, dan semua barang tambang. Apabila mereka tidak lagi menegakkan hukum dengan adil, akan terjadi kerja sama dalam melakukan kezaliman dan permusuhan”.
Pesan Nabi tersebut, bukan prediksi atau ramalan melainkan sunnatullah atau hukum alam. “Dan, kamu tidak akan mendapatkan perubahan dalam sunnatullah”. (QS. Al-Ahzab/33:62).
Perjalanan waktu dalam Al-Quran disebut ‘Ashr, yang bermakna masa, era, waktu, dan zaman. Baik berkaitan dengan waktu yang pendek dalam hal ini jam, atau waktu yang panjang yakni era. Allah seringkali bersumpah dengan ciptaan-Nya yang menakjubkan, misalnya, alam dan waktu: “Demi matahari, demi waktu duhanya, demi bulan ketika mengikutinya (QS. Asy-Syams/91:1-2).
Ketika Allah bersumpah dengan waktu, hal ini menunjukkan bahwa waktu menarik perhatian kita akan apa yang disumpahkan-Nya. Allah menyuruh kita untuk memperhatikan dan mengamati waktu dalam arti umum. Perjalanan waktu menyebabkan manusia berubah. Dalam waktu tujuh belas tahun, balita berubah menjadi remaja yang sangat memesona. Enam puluh tahun berikutnya berubah menjadi orang tua yang menyedihkan. Peristiwa demi peristiwa datang dan pergi dengan perjalanan waktu.
Allah bersumpah dengan waktu, mengajari kita untuk memperhatikan dan memahami tanda-tanda zaman. Sebagai tanda kearifan seseorang yang mengetahui tanda-tanda zamannya. Sejarah mengajarkan kita bahwa manusia yang sukses adalah mereka yang mampu menjawab tantangan zamannya dengan tepat. Ketika memberi reaksi yang salah terhadap perjalanan waktu, maka manusia akan mengalami kerugian. Dalam perspektif Islam, kita semua hidup dalam tiga masa, yakni masa lalu, masa kini, dan masa yang akan datang.
Perilaku kita sekarang, dipengaruhi oleh perilaku kita yang lalu kemudian pada gilirannya akan menentukan perilaku kita pada masa datang. Islam melarang kita mencelah waktu, karena tidak ada waktu yang jelek, yang jelek adalah orang-orang dan peristiwa yang ada dalam cakupan waktu. Sesungguhnya manusia berada dalam kerugian. Alquran menggunakan kata “insan” mengandung maksud bahwa dalam diri setiap orang terdapat dua sifat, yakni sifat hayawaniyah dan sifat insaniyah (sifat-sifat kebinatangan dan sifat-sifat kemanusiaan).
Dalam sifat kebinatangannya, manusia sama dengan binatang lain misalnya ingin makan, minum, menghindari hal-hal yang menyakitkan, dan ingin memperoleh kenikmatan dalam hidup. Meskipun demikian ulama membedakan antara kenikmatan dan kebahagiaan dalam kehidupan.
Jika Anda makan enak, pasti Anda memperoleh kenikmatan namun belum tentu Anda bahagia. Jika Anda seorang suami yang meninggalkan istri dan keluarga dalam waktu yang lama, kemudian kembali ke tanah air lalu berjumpa dengan istri dan anak-anak Anda. Pada saat itu, Anda tidak hanya merasakan kenikmatan tetapi juga merasakan kebahagiaan. Kenikmatan sifatnya hayawaniah, sedang kebahagiaan sifatnya insaniyah.
Setiap orang siapa pun dia, harus mengembangkan sifat-sifat kemanusiaan, karena sifat kemanusiaan inilah yang membedakan seseorang dengan orang lainnya. Pertanyaannya adalah apa yang dapat mengembangkan sifat kemanusiaan itu? Kedua hal itu adalah :iman dan amal saleh. Imanlah yang dapat menghubungkan manusia dengan sifat-sifat ruhaniah atau spiritual. Mereka yang hanya mengejar kenikmatan tak berbeda dengan binatang, karena kosong dari nilai iman menjadikan seseorang berada pada derajat yang rendah. (*)