"Konteks hadits 'puasa agar sehat', secara saintifik mendapatkan pembenaran," tutur dia.
Kisah itu, kata Saad, memperoleh dukungan dari Ian Barbour. Seorang cendekiawan dari Amerika Serikat yang menyoroti hubungan antara sains dan agama. Pandangan Ian Barbour itu belakangan dikenal karena telah menciptakan bidang kontemporer antara agama dan sains.
"Ian Barbour punya pandangan tentang When Science Meet Religion, meskipun ia sendiri tidak mau mengambil sejarah dalam kehidupan barat karena ilmu barat itu gagal memadukan, mendialogkan, apalagi merelasikan hubungan antara agama dan sains. Tapi dalam konteks ini adalah agama yang mereka peluk yang tentu bukan Islam," papar Saad.
Saat juga bercerita tentang kisah dirinya yang pernah belajar di majelis yang diasuh oleh Nurcholis Madjid. Ia menuturkan pandangan Nurcholis Madjid yang menyebut Al-Qur'an sebagai kitab suci tak bisa ditembus oleh kritik ilmiah.
"Satu waktu, saya mengikuti kuliah, kajian kitab Asy-Syifa', bab Kitabun Nafs yang diasuh oleh Doktor Nurcholis Madjid. Beliau mengatakan, Islam, khususnya Al-Qur'an itu tahap atas kritik ilmiah, artinya tidak bisa ditembus karena penemuan ilmiah itu link dengan ajaran Islam. Bahkan dalam banyak hal, isi kitab suci itu mendahului (penemuan modern)," kisah dia.
Salah satu temuan fenomenal, kata Saad, adalah teori Big Bang. Meski teori itu tak ditemukan oleh seorang muslim, Saad menyebutnya telah diceritakan oleh Allah melalui Al-Qur'an.
"Teori Big Bang itu ditemukan sekitar 60 atau 50 tahun lampau, tapi di surat Al-Anbiya ayat itu Allah sudah menjelaskan. Bedanya, teori Big Bang tidak ada dimensi teologisnya," ucap dia.
"Karena itu pernyataan Nurcholis Madjid adalah sesuatu yang tepat, dan ini tidak bisa terjadi dalam konteks relasi sains dan otoritas gereja, kitab suci mereka atau wahyu mereka," tambah Saad. (Hikmah/B)