Waktu Jadi “Alibi” Gakkumdu

  • Bagikan

MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Kinerja Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu) pemilihan kepala daerah serentak di Sulawesi Selatan dinilai masih bekerja setengah hati dalam menangani dugaan tindak pidana pemilu. Keseriusan menuntaskan setiap laporan pelanggaran dengan limitasi waktu tidak sepenuhnya mampu ditunaikan.

Dua dugaan pelanggaran yang sejatinya terang-benderang terpaksa dihentikan dengan alasan "sepele"--keberadaan tersangka tak dapat diketahui. Pun, celah hukum yang sangat longgar turut dimanfaatkan bagi tersangka untuk "pecundangi" penyidik di Gakkumdu hingga dinyatakan perkara sudah daluarsa.

Penghentian proses penyidikan kasus tindak pidana pemilu oleh tim Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu) karena dinyatakan daluarsa, belakangan menuai sorotan. Bagaimana tidak, dua kasus pelanggaran pilkada yang terjadi di Sulawesi Selatan (Sulsel) terpaksa dihentikan karena batas waktu penyidikannya habis.

Kasus pertama terjadi di Kota Palopo. Calon wali kota Trisal Tahir sempat ditetapkan sebagai tersangka oleh Sentra Gakkumdu terkait dugaan penggunaan ijazah palsu saat mendaftar sebagai calon wali kota Palopo. Dalam kasus ini, tiga komisioner KPU Palopo juga turut terseret dan menjadi tersangka lantaran berperan menyatakan Trisal Tahir memenuhi syarat pencalonan meski ijazah yang digunakan patut diduga palsu.

Trisal Tahir dijerat Pasal 184 UU RI Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota. Sementara ketiga komisioner KPU dijerat Pasal 180 ayat 2 UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota.
Menariknya, kasus tersebut tidak sampai di meja persidangan. Penyebabnya, tepat hari ke-14 atau batas waktu penyidikan dituntaskan Trisal Tahir tiba-tiba menghilang sehingga tim penyidik Gakkumdu Palopo tidak bisa melanjutkan perkara dan menyatakan kasus itu daluwarsa.

Kasus yang terbaru adalah dugaan pelanggaran netralitas aparatur sipil negara di Kota Makassar yang melibatkan seorang kepala sekolah berinisial SM. Gakkumsu Sulsel yang menganani perkara ini juga menghentikan penyidikan setelah tersangka dinyatakan kabur saat hendak dijemput oleh penyidik.

SM ditetapkan sebagai tersangka karena diduga menghadiri salah satu kegiatan pasangan calon (Paslon) gubernur Sulsel Nomor urut 01, Moh Ramdhan ‘Danny’ Pomanto-Azhar Arsyad (DIA). Minimnya batas waktu penyidikan ini dimanfaatkan oleh para tersangka dengan manipulasi melarikan diri untuk menghindari jeratan hukum lanjutan.

Pengamat hukum dan kepemiluan di Sulsel, H.L. Arumahi mengatakan mengenai batas waktu penanganan pelanggaran pilkada di Bawaslu maupun Gakkumdu telah ditentukan dalam undang-undang. Sehingga, batasan waktu tersebut harus dikejar guna menyelesaikan satu perkara yang ditangani.

"Undang-undang Pemilu atau Pilkada sudah diatur waktu-waktu berapa hari. Misalnya, di tahapan Bawaslu, di penyidikan kepolisian, kemudian kejaksaan juga sudah ada waktu-waktu tertentu yang dibatasi oleh undang-undang," ujar Arumahi kepada Harian Rakyat Sulsel, Selasa (12/11/2024).

Untuk itu, kata Arumahi, penyidik atau petugas yang diberikan kewenangan di Bawaslu maupun di Gakkumdu harus betul-betul serius dalam menuntaskan perkara yang ditanganinya. Mengingat jika hingga batas waktu kasus tersebut tidak selesai maka dinyatakan daluarsa.

"Ketika mereka lengah, tidak disiplin dalam penanganan kasusnya, ya, bisa saja dalam kurun waktu yang ditentukan oleh undang-undang tidak selesai, maka dengan sendirinya kasus itu disebut daluarsa," ungkap Arumahi.

Mantan Ketua Bawaslu Sulsel itu itu menjelaskan, penanganan pidana pemilu atau pilkada berbeda dengan penanganan pidana umum lainnya. Dalam hukum acara pidana pemilu waktu untuk penanganan kasusnya telah diatur batasan-batasan waktu penanganannya.

"Jadi intinya itu di setiap tahapan penyelenggara atau penegak hukum harus hati-hati dengan melihat jadwal yang sempit," sebut dia.

Mengenai adanya kasus yang daluarsa akibat tersangka menghilang sehingga proses hukumnya tidak bisa diteruskan, Arumahi mengatakan semestinya penyidik sejak awal telah melakukan antisipasi. Meskipun diakui, bahwa dalam penyelidikan maupun penyidikan kasus pelanggaran pemilu atau pilkada sedikit sulit dalam pembuktian dikarenakan dikejar oleh waktu.

"Seharusnya, kan, penyidiknya sudah mengantisipasi supaya dalam waktu 14 hari itu tidak ada ruang untuk melarikan diri atau menghilang. Tapi secara teknis tentu mereka punya kesulitan-kesulitan juga untuk mempercepat atau melakukan penahanan," tutur Arumahi.

Lebih jauh, Arumahi menjelaskan dalam aturan penyidik atau Gakkumdu sebenarnya memiliki kewenangan untuk melakukan penahanan terhadap seorang yang telah ditetapkan sebagai tersangka kasus pelanggaran pemilu. Namun penahanan tersangka dilakukan jika ancaman hukumnya di atas lima tahun penjara.

Penyidik Gakkumdu juga disebut harus hati-hati dan tidak boleh memaksakan untuk menetapkan seorang sebagai tersangka pelanggaran Pemilu, karena harus disertakan bukti yang kuat.

"Kalau penyidik sudah meyakini bukti-buktinya cukup tentu dia punya kewenangan untuk segera melakukan peningkatan status terlapor sebagai tersangka sehingga dia punya kewenangan untuk menahan kalau di atas lima tahun," kata Arumahi.

"Ada (kewenangan melakukan penahanan), tapi penahanan itu bisa dilakukan kalau statusnya sudah tersangka. Untuk jadi tersangka tentu itu tadi, perlu bukti-bukti yang cukup," sambung dia.

Menanggapi jika kasus yang sudah daluarsa bisa diproses kembali, Arumahi mengatakan, bisa saja jika ada temuan bukti baru mengenai dugaan pelanggaran hukum pemilu. Namun jika tidak ada bukti baru, maka kasusnya tidak bisa lagi diteruskan.

"Tidak bisa lagi, kecuali ada novum atau bukti baru, misalnya. Jadi, misalnya, ada bukti baru itu harus dihitung lagi sejak kapan ditemukan novum itu kemudian dilaporkan," jelas Arumahi.

Terakhir, Arumahi menyampaikan bahwa proses penindakan kasus pemilu sudah demikian. Sehingga jika ada celah-celah hukum yang kerap dimanfaatkan oleh mereka yang terjerat harus diubah secara umum dalam aturan undang-undang yang baru.

"Tapi filosofinya kenapa diatur seperti itu supaya persoalan-persoalan kasus-kasus itu harus selesai sampai selesainya tahapan Pilkada. Tidak boleh melewati tahapan Pilkada, itu pengaturan di Undang-undang. Sehingga hukum acaranya berbeda dengan hukum acara pidana umum," imbuh Arumahi.

Sebelumnya, Sentra Gakkumdu Sulsel menghentikan kasus SM karena tersangka tiba-tiba menghilang di hari terakhir kasusnya akan diproses oleh penyidik Gakkumdu. Penyidik Gakkumdu Sulsel, Rahmat Hidayat mengatakan, penyidik terpaksa mengambil langkah menghentikan penyidikan karena batas waktu telah berakhir.

Rahmat menjelaskan, sebelum penyidikan kasusnya dinyatakan dihentikan, penyidik Gakkumdu Sulsel sempat melakukan pencarian terhadap SM di lokasi-lokasi yang dicurigai dijadikan sebagai tempat persembunyian namun tidak ditemukan. Pencarian terhadap SM disebut dilakukan hingga malam hari, pada Kamis (7/11/2024) lalu, namun hasilnya nihil. Sehingga di hari itu juga, pihak Gakkumdu Sulsel langsung melakukan rapat dan dinyatakan kasusnya daluarsa dikarenakan tidak bisa dilakukan proses penyidikan lanjutan.

"Kepala sekolah yang bersangkutan sama sekali tidak ditemukan. Kita sudah berusaha juga, dari teman-teman dari unsur penyidik Gakkumdu juga berusaha mendatangi tempat-tempat yang diduga tersangka ada di situ tapi tidak ditemukan hasilnya, nihil," ungkap Rahmat.

"Kami sudah maksimal sampai malam. Hari Kamis hari terakhir, akhirnya kita rapat pembahasan. Karena tidak ada keterangan tersangka, tidak dapat ditemui (kasusnya dihentikan). Kami bersama unsur penyidik menyebar untuk mencari titik-titik lokasi untuk memantau pergerakannya tapi nihil," sambung Rahmat.

Meskipun kasus pidana dugaan pelanggaran pemilu SM telah dihentikan, kata Rahmat, pihaknya tetap melakukan upaya hukum lainnya. Berkas perkara serta bukti lainnya disebut telah dikirimkan ke Badan Kepegawaian Negara (BKN) untuk diproses secara administrasi terkait dugaan pelanggaran netralitas ASN.

"Tapi tetap kita proses ke BKN dengan mengirimkan seluruh berkas administrasi. (Termasuk) soal penetapan tersangka dengan ada beberapa bukti-bukti yang berkaitan dengan ada indikasi keterlibatan sejumlah kepala sekolah dan yang terkait dalam kasus tersebut," tutur Rahmat.

Dalam kasus ini disebut sebenarnya ikut menyeret 7 kepala sekolah dan 1 kepala dinas, namun semuanya masih berstatus saksi. Dari 7 kepala sekolah tersebut, 2 di antaranya hingga saat ini handphonenya (HP) masih disita oleh penyidik Gakkumdu, termasuk handphone milik kepala dinas tersebut.

Meski berstatus saksi, Rahmat mengatakan pihaknya masih tetap mendalami berkas perkaranya. Gakkumdu Sulsel disebut telah berupaya maksimal dalam kasus ini meskipun satu tersangka itu melarikan diri di hari terakhir kasusnya akan diproses.

Komisioner Badan Pengawas Pemilihan Umum Sulawesi Selatan, Andarias Duma menyebutkan kasus dugaan pelanggaran pidana pemilu yang dilakukan oleh SM dihentikan karena sudah melebihi 14 hari kerja.

"Kasusnya sudah daluarsa saat proses penyidikan," kata Andarias.

Mantan Ketua Bawaslu Toraja Utara ini, menyebutkan SM pernah menghadiri panggilan penyidik Bawaslu Sulsel pada saat penyelidikan. Namun saat ditingkatkan ke penyidikan SM tidak lagi menghadiri panggilan Gakkumdu Bawaslu Sulsel.

"Jadi saat pemberkasan, penyidikan, tersangka tidak pernah lagi hadir," ucap dia.

Andarias menyebutkan sesuai aturan penangan pelanggaran, penyidik hanya bekerja selama 14 hari. "Kalau tidak pernah mendapatkan keterangan dari tersangka, demi hukum penyidikan itu diberhentikan," jelas dia.

Soal upaya jemput paksa, Andarias menyebutkan dalam menangani pelanggaran tidak mengatur jemput paksa. "Kalau dalam aturan penangan pelanggaran tidak mengatur jemput paksa," imbuh dia.

Kuasa hukum pelapor Sahabuddin Daeng Naba, Agusman Hidayat mengatakan jika pihaknya sudah melakukan koordinasi dengan Bawaslu Sulsel untuk mengirimkan bukti perbuatan tersangka ke BKN.

"Jadi kami juga mengadukan ke BKN dan kami sudah meminta ke Bawaslu juga agar bukti tersangka juga telah kami kirim," kata Agusman.

Upaya itu dilakukan agar BKN bisa menilai ASN yang tidak netral dalam Pilkada ini. "Tentunya nanti BKN akan menilai dan ini sebagai contoh buruk bagi seluruh ASN," sambung dia.

Namun dia sangat sayangkan terlapor tidak kooperatif menghadiri undangan Bawaslu Sulsel, karena terlapor ASN dan dia sangat paham masalah aturan.

"Kami sangat sayangkan seorang ASN yang paham dengan aturan tidak kooperatif dalam menghadapi persoalan netralitas ASN terutama pribadinya," beber dia. (isak pasa'buan-fahrullah/C)

  • Bagikan