Prinsip Egaliter

  • Bagikan
Darussalam Syamsuddin

Oleh: Darussalam Syamsuddin

MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Ajaran yang memperlakukan semua manusia tidak memiliki perbedaan: laki-laki atau perempuan, kulit putih atau kulit hitam, raja atau hamba sahaya, pembesar atau rakyat jelata, sarjana atau tidak berpendidikan, disebut egalitarianisme. Prinsip egalitarianisme ini sangat dijunjung tinggi dalam Islam.

Semua predikat atau gelar kebanggaan yang sering digunakan untuk merendahkan orang lain, segala pakaian, kekayaan, dan kedudukan yang sering ditampakkan untuk melukai hati dan perasaan kaum fakir-miskin ditanggalkan. Seluruh pangkat kebesaran yang sering ditonjolkan untuk menakut-nakuti orang lain harus dihentikan. Karena semua manusia, sama di hadapan penguasa alam semesta, Allah Rabbul ‘Alamin.

Islam tidak saja mengajarkan bahwa semua manusia adalah sama di hadapan Allah. Namun, Islam juga mengutuk sikap mental yang melebihkan satu kelompok manusia atas kelompok yang lain. Mereka yang merasa mempunyai derajat yang lebih tinggi dari pada orang lain karena keturunan, kekuasaan, pengetahuan, dan ketampanan atau kecantikan dikutuk oleh Islam yang disebut dengan takabur.

Riwayat menyebutkan bahwa Rasulullah saw marah ketika mendengar Abu Dzar memanggil Bilal bin Rabah dengan ucapan “Hai anak perempuan hitam”. Rasulullah menepuk bahu Abu Dzar sembari berkata, “Terlalu, terlalu.

Tidak ada kelebihan orang putih atas orang hitam, kecuali karena amal saleh”. Abu Dzar menjatuhkan diri ke tanah, diratakannya pipinya dengan debu, dan dimintanya Bilal bin Rabah menginjak kepalanya sebagai tebusan atas kesombongannya.

Abu Dzar memahami bahwa dalam Islam menyombongkan diri karena keturunan adalah dosa besar. Sejak saat itu Abu Dzar menjadi seorang yang sangat rendah hati.

Dia memilih untuk hidup bersama orang-orang miskin dan bergaul dengan orang-orang miskin, kelompok masyarakat yang sering kali direndahkan dan diremehkan dalam pergaulan masyarakat. Kelompok ini dalam Alquran disebut kaum dhuafa yakni orang yang lemah, baik karena dilemahkan orang lain, maupun karena dirinya sendiri memang lemah.

Asas persamaan dan keadilan setelah Rasululullah saw wafat dilanjutkan para sahabatnya. Alkisah, seorang rakyat kecil berangkat dari Mesir menuju ke Madinah. Menempuh jarak yang jauh hanya ingin mengadukan hal yang menimpa dirinya pada Khalifah Umar bin Khattab.

Dia berkata; “Ya Amirul Mukminin, suatu hari aku bertanding menunggang kuda dengan anak Amr bin Ash, gubernur di Mesir. Dia memukulku dengan cambuknya sambil menyombongkan diri dengan katanya “aku anak orang mulia”. Karena khawatir aku datang melapor kepadamu, ayahnya memasukkan aku ke penjara. Aku berhasil lolos, dan sekarang datang mengadu kepadamu”.

Umar bin Khattab segera mengirim surat kepada Gubernur Amr bin Ash, agar segera datang bersama anaknya. Di hadapan orang banyak, Umar bin Khattab melemparkan cambuk kepada rakyat dari Mesir yang mengadu kepadanya sembari berkata: “cambuk anak orang yang mulia itu”.

Umar bahkan menyuruh pula agar mencambuk ayahnya juga. Namun, orang yang mengadu itu hanya mencambuk orang yang mencambuknya yakni anak Amr bin Ash. Orang yang mengadu itu berkata, “aku sudah cukup memukul orang yang memukulku”.
Ketika itu Umar bin Khattab berkata kepada Amr bin Ash, “wahai Amr bin Ash mengapa engkau perbudak manusia, padahal mereka dilahirkan ibunya dalam keadaan merdeka?”

Makna perkataan Umar bin Khattab ini baru kemudian dikenal di Eropa pada masa revolusi Prancis, kemudian digunakan di Amerika yang dikenal dengan Declaration of Indefendence. Memperbudak manusia sama dengan merendahkan martabatnya, merampas hak-hak asasinya. Memperbudak manusia juga berarti memasung kebebasan untuk menyatakan pendirian, menjalankan keyakinan, serta mengejar harapan dan cita-citanya. (*)

  • Bagikan