Oleh: Babra Kamal
Akademisi Universitas Teknologi Sulawesi
MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Pemerintah akan mengumumkan kepastian penerapan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) sebanyak 12 persen pada pekan depan. Hal ini diungkapkan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto saat ditemui di kantornya, Jakarta, Selasa (3/12/2024) malam, setelah melakukan rapat koordinasi terbatas (rakortas) bersama sejumlah kementerian di antaranya Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dan Menteri Ketenagakerjaan Yassierli.
Center of Economic and Law Studies (Celios) memprediksi kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen yang akan dimulai pada Januari 2025 berisiko menurunkan produk domestik bruto (PDB). Dalam laporan yang ditulis oleh Celios mengungkapkan kenaikan PPN menjadi 12 persen berisiko menurunkan PDB hingga Rp 65,3 triliun. Selain itu juga akan mengurangi jumlah konsumsi rumah tangga sebesar Rp 40,68 triliun. Apa artinya PPN 12 Persen mengancam pertumbuhan ekonomi 2025?
Relasi PPN dan PDB
Selama beberapa dekade, PDB telah mendominasi debat publik dan media. Negara-negara dunia diurutkan berdasarkan PDB, defenisi global mengenai “kuasa” dibuat berdasarkan PDB, akses terhadap institusi tata kelola dunia pun diberikan berdasarkan pencapaian PDB (misalnya anggota G-8 atau G-20 diseleksi berdasarkan PDB mereka) dan kebijakan pembangunan dikendalikan oleh formula PDB.
Dalam masyarakat kotemporer saat ini, kekayaan suatu bangsa biasanya diukur berdasarkan PDB. Di Amerika Serikat, biro analisis ekonomi yang bernaung di bawah Kementerian Perdagangan bertanggung jawab menghitung pendapatan nasional dan neraca produk. Sementara di negara lainya estimasi pendapatan bisanya dilansir oleh biro statistik masing-masing.
PDB biasanya digunakan untuk mengukur nilai barang dan jasa yang dihasilkan dalam rentang waktu tertentu. Biasanya setiap tiga bulan. Angka ini mengukur hasil produksi dari sudut pandang harga pasar dalam sebuah negara, sederhanya dapat dilihat dalam rumus berikut: PDB = konsumsi +investasi+belanja pemerintah+ekspor-impor.
Ada tiga pendekatan dalam menghitung PDB yakni pendekatan pengeluaran, pendekatan pendapatan dan pendekatan nilai tambah. PDB dirancang untuk memotret kuantitas produksi dalam kurun waktu, tanpa melihat apakah produksi digunakan untuk konsumsi jangka pendek, untuk investasi aset tetap atau untuk menggantikan aset tetap yang terdepresiasi.
Singkatan PDB baru diperkenalkan jauh sesudahnya yakni pada awal 1990-an, ketika globalisasi ekonomi dan finansial memungkinkan perusahaan-perusahaan membangun cabang di seluruh dunia dan di tempat terpisah, karena fokusnya “domestic”, PDB hanya mengukur barang dan jasa yang diproduksi dalam suatu negeri, tak peduli apakah barang dan jasa tersebut diproduksi perusahaan nasional atau asing.
Lalu apa saja dampak kenaikan PPN terhadap pertumbuhan ekonomi dalam hal ini Produk Domestik Bruto (PDB)? Pertama, ketika tarif PPN naik, harga barang dan jasa yang dikenakan PPN juga akan meningkat. Hal ini dapat mengurangi daya beli konsumen karena mereka harus mengeluarkan lebih banyak uang untuk membeli barang dan jasa yang sama.
Penurunan konsumsi rumah tangga akan berdampak langsung pada PDB, karena konsumsi rumah tangga merupakan komponen utama dalam penghitungan PDB. Jika konsumsi menurun, maka PDB juga cenderung turun.
Kedua, kenaikan PPN dapat meningkatkan biaya produksi bagi produsen yang membeli barang dan jasa untuk digunakan dalam proses produksi. Meskipun sebagian dari kenaikan biaya ini dapat diteruskan kepada konsumen dalam bentuk harga yang lebih tinggi, sebagian mungkin akan menekan margin keuntungan perusahaan.
Dalam jangka panjang, kenaikan PPN menyebabkan tekanan pada permintaan dan produksi dapat mengurangi insentif untuk berinvestasi, yang juga berkontribusi terhadap penurunan PDB.
Ketiga, kenaikan PPN yang dikenakan pada barang dan jasa domestik dapat membuat barang domestik menjadi lebih mahal dibandingkan dengan barang impor, mengurangi daya saing barang domestik di pasar internasional. Hal ini dapat mengurangi ekspor, yang merupakan salah satu komponen PDB.
Di sisi lain, jika kenaikan PPN tidak diterapkan pada barang impor, maka konsumen mungkin akan beralih ke barang impor yang lebih murah, yang juga dapat mengurangi konsumsi barang domestik.
Kempat, kenaikan PPN sering kali berkontribusi pada inflasi, karena harga barang dan jasa yang lebih tinggi. Inflasi yang tinggi dapat menyebabkan Bank Sentral menaikkan suku bunga untuk menstabilkan harga, yang pada gilirannya dapat memperlambat pertumbuhan ekonomi dan mengurangi PDB.
Ekonom INDEF, Ahmad menyatakan kenaikan PPN akan mengerek biaya produksi dan konsumsi. Hal ini akan memukul daya beli masyarakat. Jika daya beli turun, maka utilisasi dan penjualan ikut melemah. Kinerja keuangan perusahaan terdampak, sehingga penyerapan tenaga kerja menurun.
Hal ini akan berdampak pada penurunan pendapatan masyarakat, konsumsi rumah tangga menurun dan akhirnya menghambat pemulihan ekonomi. Ujung-ujunganya penerimaan negara juga ikut menurun.
Alih-alih menaikkan PPN menjadi 12 persen, menurut Celios, pemerintah masih memiliki alternatif penerimaan negara lainnya yang tidak membebani masyarakat miskin. Di antaranya pajak kekayaan (wealth tax), pajak produksi batubara, pajak windfall komoditas, pajak karbon, pajak minuman berpemanis dan lain-lain. (*)