Bahkan, sebagian dana tersebut juga dialihkan untuk praktik yang lebih kontroversial, yaitu pembelian suara masyarakat secara langsung, baik melalui pemberian uang tunai maupun iming-iming bantuan materi lainnya.
Fenomena politik uang semacam ini, meskipun sudah menjadi rahasia umum di kalangan masyarakat dan elite politik, memberikan dampak yang sangat serius bagi kelangsungan demokrasi. Tidak hanya mencederai prinsip-prinsip dasar demokrasi dengan merusak proses pemilu yang adil dan bebas, praktik ini juga membuka peluang yang lebih besar bagi perilaku koruptif di kemudian hari, terutama ketika kandidat terpilih merasa perlu mengembalikan dana yang telah mereka keluarkan selama masa kampanye.
Menurut mantan Wakil ketua KPK, Alexander Marwata untuk menjadi Kepala Daerah maupun Legislator, menjadi potensi terjadinya korupsi. Untuk menjadi Legislator dan Kepala Daerah membutuhkan biaya miliaran rupiah. Oleh karena itu, dana yang disiapkan untuk menjadi kepala daerah setingkat Bupati atau Walikota sebesar 20-30 milyar, dan naik satu tingkat di atasnya menjadi Gubernur membutuhkan anggaran lebih dari 100 milyar.
Urgensi Transparansi Keuangan Politik
Salah satu langkah yang perlu diambil adalah memperbaiki transparansi keuangan politik. Menurut IDEA (2019), transparansi ini melibatkan keterbukaan informasi tentang penggalangan dan pengeluaran dana politik, termasuk sumber dana dan penggunaannya. Tujuan utama transparansi adalah mencegah pengeluaran berlebihan, menciptakan kesetaraan antar kandidat, dan menghilangkan dana ilegal dari politik.
Namun, di Indonesia, penerapan transparansi ini masih menjadi tantangan. Laporan Indonesia Corruption Watch (ICW, 2014) mengungkapkan bahwa mayoritas partai politik tidak memberikan laporan keuangan yang sesuai standar Komisi Pemilihan Umum (KPU). Bahkan, asal-usul sumbangan sering kali tidak jelas. UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu pun tidak membatasi jumlah sumbangan politik, membuka celah bagi praktik yang tidak transparan.