MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Pemenang pada pemilihan gubernur Sulawesi Selatan dan pemilihan wali kota Makassar tidak akan langsung "resmi ditetapkan" meski rekapitulasi suara nantinya telah kelar disampaikan oleh Komisi Pemilihan Umum.
Alasannya, kandidat dari dua pemilihan tersebut berpeluang akan mengajukan gugatan sengketa hasil pemilihan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Dugaan mobilisasi aparatur sipil negara (ASN) dan praktik politik uang menjadi beberapa alasan untuk melayangkan gugatan.
Tanda-tanda hasil pemilihan akan digugat ke MK terlihat untuk pemilihan wali kota Makassar. Saat rekapitulasi suara, saksi pasangan calon Indira Yusuf Ismail-Ilham Ari Fauzi Amir Uskara (INIMI) menolak meneken berita acara hasil rekapitulasi perolehan suara.
Begitu pula saat penetapan hasil pemilihan calon gubernur tingkat Kota Makassar. Saksi pasangan Danny Pomanto-Azhar Arsyad juga menolak meneken hasil rekap KPU Kota Makassar.
Ketua Tim Hukum INIMI-DIA, Ahmad Riyanto mengatakan bahwa apa dilakukan perwakilan tim INIMI-DIA merupakan sinyal untuk menempuh jalur ke MK.
"Sikap politik kami jelas. Tidak menandatangani hasil pleno rekapitulasi Pilwali dan Pilgub di tingkat Kota Makassar. Itu sinyal dan bisa ditafsirkan publik seperti apa langkah hukum selanjutnya," ujar Ahmad, Minggu (8/12/2024).
Menurut dia, pihak tim hukum masih melakukan kajian bersama pasangan calon untuk memastikan gugatan resmi dilayangkan ke MK. Dia mengatakan, upaya untuk menggugat ke MK sebagai bentuk mosi tidak percaya kepada penyelenggara pilkada karena terdapat banyak indikasi kecurangan dan pembiaran.
Selain itu, tim hukum juga menemukan adanya dugaan pelanggaran yang terjadi selama masa Pilkada Serentak 2024 di Sulawesi Selatan berupa kampanye terselubung oleh Aparatur Sipil Negara (ASN) dan praktik politik uang.
"Tim masih tahap melakukan kajian. Intinya kami menolak hasil rekap KPU karena banyak pelanggaran yang terjadi secara masif," imbuh Ahmad.
Ahmad mengatakan, pendaftaran gugatan belum bisa dipastikan karena masih menunggu hasil penetapan untuk Pilgub Sulsel yang saat ini tengah berjalan. Adapun untuk gugatan di Pilwali Makassar masih menunggu waktu yang tepat.
Sementara itu, Danny Pomanto yang dikonfirmasi melalui pesan WhatsApp belum memastikan untuk melakukan gugatan. "Besok (hari ini) kami akan sampaikan," singkat Danny.
Kepala Sub Bagian KPU Sulsel, Muhammad Asry mengatakan, sesuai regulasi PKPU bagi calon yang merasa dirugikan atau memiliki bukti adanya kecurangan selama masa pilkada hingga pencoblosan diberikan kesempatan mengajukan gugatan ke MK.
"Paslon di Pilkada 2024 bisa mengajukan gugatan sengketa pilkada ke MK jika tidak terima dengan pengumuman hasil rekapitulasi final oleh KPU tingkat kab/kota hingga Provinsi," ujar Asry.
"Pengajuan harus dilengkapi dokumen bukti dan keputusan KPU terkait hasil rekapitulasi penghitungan suara," tambah dia.
Menurut dia, aturan mengenai pengajuan gugatan hasil pilkada ke MK tertuang dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada Pasal 157.
"Ada di aturan PKPU, paslon pilkada bisa mengajukan permohonan gugatan ke MK maksimal 3 hari kerja terhitung sejak diumumkan penetapan perolehan suara hasil pemilihan oleh KPU provinsi atau KPU kabupaten/kota," tutur dia.
Sebelumnya, KPU Makassar menetapkan paslon Munafri Arifuddin dan Aliyah Mustika Ilham (MULIA) sebagai pemenang Pilwali pada 6 Desember 2024. Bila dihitung ke depan maka, besok Senin 9 Desember (hari ini) sudah genap tiga hari atau batas waktu untuk paslon mengajukan gugatan atau keberatan ke MK.
Pengamat politik Muhammad Asratillah menyebut bila gugatan yang diajukan pihak INIMI maupun DIA masih dalam tahap pengajuan permohonan di MK, artinya akan ditinjau terlebih dahulu oleh pihak MK.
"Mengingat MK hanya mengadili sengketa pilkada jika terdapat selisih suara paling tinggi 2 persen dengan perolehan suara tertinggi," ujar Asratillah.
Direktur Politik Profetik Institute ini juga menuturkan, kalaupun permohonan gugatan dilanjutkan, ini tidak akan banyak mengubah hasil pilkada yang telah ditetapkan oleh KPU. Sehingga wajar jika muncul pertanyaan motif politik di balik gugatan yang dilakukan oleh pasangan kandidat.
Menurut dia, pengajuan gugatan oleh pihak INIMI tidak begitu relevan bahkan hanya memperlambat proses suksesi kepemimpinan politik di Kota Makassar.
"Hal ini berkonsekuensi pada terhambatnya segala bentuk eksekusi kebijakan di masa mendatang, yang tentunya merugikan masyarakat Kota Makassar," imbuh dia.
Asratillah menambahkan, dengan melihat hasil pilkada Kota Makassar, memperlihatkan bahwa warga Kota Makassar merindukan pola kepemimpinan politik yang baru dan lebih segar.
"Permohonan gugatan ke MK yang secara politik tidak relevan tapi hanya menghambat realisasi harapan warga Kota Makassar tersebut," kata Asratillah.
Mahkamah Konstitusi (MK) telah menjadwalkan penanganan perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Kepala Daerah Tahun 2024 (PHP Kada 2024) mulai 27 November 2024 sampai 18 Desember 2024 sebagaimana Peraturan MK Nomor 4 Tahun 2024, terkait tahapan, kegiatan, dan jadwal penanganan perkara sengketa hasil pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota.
Sementara itu, pengamat komunikasi politik dari Universitas Islam Negeri Alauddin, Suharto mengatakan, sulit bagi paslon lain untuk mengajukan gugatan ke MK.
"Dengan selisih keunggulan yang begitu jauh hampir pasti tidak ada ruang bagi pasangan calon lain untuk menggugat ke MK," ujar Suharto.
Dia mengatakan, setiap calon kepala daerah dalam Pilkada 2024 memang berhak mengajukan gugatan hasil pilkada ke MK setelah KPU menetapkan perolehan suara. "Akan tetapi, ada syarat yang mesti dipenuhi untuk mengajukan gugatan tersebut," kata dia.
Menurut dia, tata cara dan syarat mengajukan gugatan pilkada secara jelas tertuang dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 3 Tahun 2004 Tentang Tata Beracara Dalam Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota.
Sedangkan terkait syarat itu, kata dia, diatur dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. Di dalamnya termasuk syarat yang menegaskan soal persentase perbedaan perolehan suara dari total suara sah hasil penghitungan suara tahap akhir yang ditetapkan oleh KPU kabupaten/kota.
"Jadi ada ketentuan, misalnya, kabupaten/kota dengan jumlah penduduk sampai dengan 250.000 jiwa, 500 ribu, atau yang di atas satu juta jiwa itu pengajuan perselisihan perolehan suara dilakukan jika terdapat perbedaan paling banyak, misalnya, sekian persen dari total suara sah hasil penghitungan suara tahap akhir yang ditetapkan oleh KPU kabupaten/kota," imbuh Suharto.
Untuk diketahui, Pasal 158 UU Nomor 10 Tahun 2016 mengatur ketentuan bagi Peserta Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati serta Wali Kota dan Wakil Wali Kota untuk dapat mengajukan permohonan pembatalan penetapan hasil penghitungan perolehan suara.
Ketentuan itu yakni kabupaten/kota dengan jumlah penduduk sampai dengan 250.000 jiwa, pengajuan perselisihan perolehan suara dilakukan jika terdapat perbedaan paling banyak sebesar 2 persen dari total suara sah hasil penghitungan suara tahap akhir yang ditetapkan oleh KPU kabupaten/kota.
Kemudian, kabupaten/kota dengan jumlah penduduk lebih dari 250.000 jiwa sampai dengan 500.000 jiwa, pengajuan perselisihan perolehan suara dilakukan apabila terdapat perbedaan paling banyak sebesar 1,5 persen dari total suara sah hasil penghitungan suara tahap akhir yang ditetapkan oleh KPU kabupaten/kota.
Selanjutnya, kabupaten/kota dengan jumlah penduduk lebih dari 500.000 jiwa sampai dengan 1.000.000 jiwa, pengajuan perselisihan perolehan suara dilakukan jika terdapat perbedaan paling banyak sebesar 1 persen dari total suara sah hasil penghitungan suara tahap akhir KPU kabupaten/kota.
Lalu, kabupaten/kota dengan jumlah penduduk lebih dari 1.000.000 jiwa, pengajuan perselisihan perolehan suara dilakukan jika terdapat perbedaan paling banyak sebesar 0,5 persen dari total suara sah hasil penghitungan suara tahap akhir KPU kabupaten/kota.
Berdasar poin-poin dari pasal 158 ini, Suharto mengatakan tidak mungkin bagi rival MULIA untuk menggugat ke MK.
"Kalau selisih cukup signifikan, pasti tidak ada gugatan. Tidak ada ruang untuk itu. Apalagi Pilwali Makassar berjalan dengan baik," kata dia.
KPU Siap ke MK
Sementara itu, empat daerah di Sulsel telah mengajukan gugatan terkait sengketa pilkada di MK. Empat pasangan calon itu berasal dari Kota Parepare, Kabupaten Toraja Utara, Bulukumba, dan Takalar.
Sengketa Pilkada Parepare dilayangkan oleh Erna Rasyid Taufan-Rahmat Sjamsu Alam. Di Toraja Utara diajukan oleh pasangan Yohanis Bassang-Marthen Rante Tondok.
Selanjutnya Pilkada Bulukumba digugat oleh pasangan Jamaluddin M. Syamsir-Tomy Satria Yulianto dan hasil Pilkada Takalar digugat oleh Syamsari Kitta-Natsir Ibrahim
Ketua KPU Sulsel Hasbullah mengakui adanya empat Pilkada Serentak di Sulsel yang berujung di MK. Ia mengatakan gugatan di MK merupakan bentuk ketidakpuasan paslon kepala daerah atas hasil rekapitulasi. Hasbullah mengaku tidak mengetahui bukti apa saja yang akan dibawa paslon untuk menggugat di MK. Ia yakin KPU kabupaten/kota sudah siap menghadapi gugatan di MK.
"Kami tidak tahu bukti terkait dengan gugatan dengan paslon ini. Tapi, dari semua proses tahapan berjenjang yang dilakukan dari semua catatan kejadian," imbuh dia.
Hasbullah menyebut proses rekapitulasi berjenjang dari TPS hingga kabupaten/kota akan menjadi modal untuk menghadapi gugatan di MK.
"Dengan putusan yang ada di proses rekapitulasi (berjenjang), berarti itu menjadi modal teman-teman untuk menghadapi proses gugatan yang ada di MK," kata dia.
Begitu juga dengan KPU Sulsel, Hasbullah juga menyebutkan siap menghadapi gugatan hasil rapat pleno rekapitulasi Pilkada Sulsel. Ia menegaskan gugatan di MK merupakan langkah konstitusional bagi paslon.
Terpisah, Anggota KPU Bulukumba, Syamsul menjelaskan bahwa pihaknya telah menerima bukti dari MK terkait adanya gugatan hasil Pilkada Bulukumba 2024.
"Kami juga sudah mendapatkan bukti registrasi dari mahkamah konstitusi mengenai Pilkada Bulukumba yang di mana hasilnya digugat ke MK oleh pasangan nomor urut satu," kata dia. (suryadi-isak pasa'buan/C)