Oleh: Saifuddin
Direktur Eksekutif LKiS
MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Kata “sales” seringkali kita jumpai dalam istilah manajemen pemasaran atau lebih dikenal dengan sebutan marketing politik. Dalam pendekatan marketing politik ada beberapa pendekatan atau elemen yang menjadi perhatian yakni produk politik, platform partai, rekam jejak, karakter kandidat, aksesibilitas produk politik itu sendiri.
Ke semua elemen tersebut saling berkaitan dengan konsep marketing dalam politik. Steve Jobs menyebutkan bahwa produk itu sangat butuh desain, kemasan sehingga memiliki daya tarik bagi konsumen. Demikian pula dalam politik.
Marketing politik begitu penting untuk membangun branding personal (citra diri), membangun positivis seseorang. Branding personal dalam politik begitu urgen mengingat pentingnya memperkenalkan diri (diperkenalkan) lewat market pemilih. Para surveyor dan konsultan politik akan bekerja memformulasikan kandidat (calon) dengan mempertimbangkan aspek-aspek produk politik (pikiran, gagasa, ide) yang akan dibawa oleh seorang kandidat. Ini tentu terkait visi dan misi politik yang akan diwujudkan kelak kalau ia terpilih.
Bukan itu saja, tetapi pada aspek yang lain, platform partai politik sebagai mesin politik (pendukung dan pengusung)—tak sebatas instrument kendaraan, tetapi aspek ini akan bersesuaian dengan budaya politik pemilih, apakah ideologi partai tersebut sesuai dengan budaya, karakter serta ideologi keyakinan pemilihnya.
Rekam jejak atau karakter kandidat juga sangat menentukan. Figuritas seseorang juga sangat berpengaruh pada psikologi elektorat. Anies Baswedan adalah satu di antara banyak figur politik yang mampu memberi pengaruh pada pemilihnya dari berbagai kelas sosial.
Desak Anies, misalnya (politik autentik Anies Baswedan), berhasil menyita perhatian banyak politisi akan keberanian Anies berdialog langsung dengan berbagai klaster masyarakat. Justru berbeda dengan kebanyakan politisi dan publik figur yang cendrung menghindari ruang-ruang diskusi dan debat, dan kebanyakan mereka hanya memilih Mall, pasar, CFD dan ruang-ruang publik lainnya yang tidak memerlukan energi pikiran.
Realitas politik ini kita temukan dari dua karakter seperti Jokowi dengan berbagai kesederhanaannya menjual diri sebagai sosok yang populis dan bisa diterima oleh kelas sosial menengah ke bawah dengan cara blusukan ke pasar dan mal-mal hanya dengan membagi baju kaos dengan gaya melempar dari dalam kendaraan.
Tentu akan sangat berbeda dengan Anies Baswedan yang terbiasa pada ruang-ruang ilmiah yang sarat dengan diskusi dan perdebatan. Anies Baswedan tentu diganrungi oleh kelompok midle class, terdidik dan terpelajar.
Sehingga keduanya terlihat klaster pemilihnya seperti apa. Positioning ini akan menentukan keterpilihan seseorang dalam jangka pendek dan jangka panjang. Dalam marketing politik yang bersifat jangka pendek Jokowi lebih digandrungi, tetapi dalam jangka panjang Anies Baswedan lebih mumpuni.
Terbukti pasca Pilpres, Anies Baswedan terus dipanggil sebagai narsum di berbagai kampus dan berbagai lembaga lainnya. Ironisnya Jokowi justru memilih jadi jurkam di Pilkada Jawa Tengah dan DKI Jakarta. Secara etis ini kurang baik bagi seorang mantan presiden yang baru seusia 20 hari setelah menjabat sebagai presiden. Sehingga bagi sebagian orang menganggap ini kemungkinan ada politik balas jasa, atau syndrome class akut dari seorang Jokowi. Sekalipun tidak dilarang dalam undang-undang.
Jokowi adalah Sales Politik
Mungkin ini salah satu mikroekspresi dari seorang Jokowi yakni gestur ketakutan, kepanikan, dan kecemasan. Poster yang pernah beredar sebelum berakhir masa jabatan “Jokowi sebagai guru bangsa” justru dia bantah sendiri dengan gaya cawe-cawe dalam pilkada Jawa Tengah dan DKI Jakarta. Apakah cawe-cawe ini adalah bentuk perlawanan kedua terhadap PDIP dan Megawati setelah pilpres 2024 kemarin. Atau ini bentuk politik dominasi dan hegemoni yang terus ingin dipertahankan.
Bahkan berdasarkan pernyataan guru besar dari Unair, setidaknya Jokowi pasca-jadi presiden, setidaknya ceramah-ceramah di kampus, malah justru jadi timses selevel pilkada. Ini sesungguhnya tidak lazim bagi seorang mantan presiden. Jokowi di banyak ruang terus dikritik atas perilaku poltiknya akhir-akhir ini yang cenderung menabrak ketidak-laziman dalam budaya politik Indonesia.
Sekali lagi menurut Sigmund Freud: Jokowi mengalami neuritic anxiety, semacam bentuk rasa was-was, kepanikan dan ketakutan. Ketakutan yang dimaksud adalah ketakutan akan masa lalu. Secara psikologis ini satu gangguan kejiwaan bagi setiap orang apabila pernah berkuasa, pernah kaya---secara tiba-tiba tak lagi berkuasa, dan kemudian jatuh miskin. Seseorang kadang mengalami depresi sekaligus delusi yang berlebihan. Ini satu dari sekian banyak penyakit psikologis yang diderita bagi penguasa yang akut post power syndrome.
Sehingga keterlibatan Jokowi dalam bentuk cawe-cawe dalam politik Pilkada Jawa Tengah dan DKI Jakarta secara tidak sadar telah mengganggu ritme gerak pemerintahan Prabowo Subianto. Realitas ini dapat terbaca ketika lawatan Presiden Prabowo keluar negeri selama kurang 14 hari lamanya di dalam upaya membangun trust dan hubungan bilateral dengan negara-negara lain, justru di dalam negeri terjadi fenomena mantan presiden (Jokowi) blusukan dalam Pilkada Jawa Tengah dan DKI. Hal ini dapat ditafsirkan kalau Jokowi terkesan (masih seperti presiden)---dan itu cukup memberi pengaruh mengganggu pemerintahan Prabowo Subianto.
Jokowi kehilangan kesadaran dalam mempraktikkan budaya politik---keterlibatannya dalam cawe-cawe dalam pilkada justru memberi kesan buruk bagi pendidikan politik. Efek yang ditimbulkan dari politik cawe-cawe itu justru mendapatkan perlawanan, cemoohan, kritikan, serta sarkasme. Politik cawe-cawe Jokowi tentu tidak berpengaruh signifikan dan akan berbeda ketika ia masih berkuasa.
Ini pertarungan Jokowi versus PDIP-Megawati jilid II setelah pilpres 14 Februari 2024 yang lalu. Ini bisa dibilang sebagai pertaruhan kehormatan dalam politik. Bagi Megawati (PDIP) ini hal yang biasa, karena PDIP masih memegang puncak klasmen di parlemen, sementara kalau Jawa Tengah dan DKI dukungan Jokowi kalah, maka Jokowi game over. Pilkada akan menguji politik Jokowi apakah masih berpengaruh atau tidak. Dan, Jokowi bukan hanya memainkan politik cawe-cawe, tetapi juga menjadi sales politik. (*)