Oleh: Darussalam Syamsuddin
MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Islam tidak hanya mengajarkan bahwa semua manusia sama di hadapan Allah, tapi Islam juga mencela sikap mental yang melebihkan satu kelompok di antara kelompok yang lain dalam masyarakat.
Jika seseorang merasa derajatnya lebih tinggi dari orang lain karena keturunan, kekuasaan, kekayaan, pengetahuan, kecantikan, atau ketampanan sebagai sikap takabur dan kesewenang-wenangan. Rasulullah saw mengingatkan: “Mereka yang sewenang-wenang dan takabur akan dikumpulkan bersama di akhirat sebagai debu yang diinjak-injak oleh manusia karena tercela di hadapan Allah".
Riwayat menyebutkan, Rasulullah saw marah ketika mendengar Abu Dzar memanggil Bilal bin Rabah dengan ucapan, “Hai anak perempuan hitam."
Nabi berkata: “Terlalu, terlalu. Tidak ada perbedaan kulit putih dan kulit hitam, kecuali amal saleh". Abu Dzar kemudian menjatuhkan diri ke tanah dan merapatkan pipinya dengan debu, kemudian menyuruh Bilal menginjak kepalanya sebagai tebusan atas kesombongannya.
Abu Dzar tahu bahwa Islam memandang membanggakan diri karena keturunan adalah dosa besar. Abu Dzar kemudian menjadi orang yang sangat rendah hati, bersikap sebagai orang miskin dan bergaul dengan mereka, sebagai kelompok yang sering dikucilkan dan diremehkan dalam masyarakat. Bahkan menjadi pembela kaum duafa dan mereka yang tertindas.
Setelah Rasulullah saw. meninggal dunia, asas persamaan dan keadilan dilanjutkan oleh sahabat-sahabatnya. Diberitakan seorang rakyat kecil dari Mesir, rela menempuh perjalanan jauh menuju Madinah hanya untuk mengadukan masalahnya kepada Umar bin Khattab. Rakyat kecil dari Mesir itu berkata: “Wahai Amirul Mukminin, suatu hari saya berlomba menunggang kuda dengan anak Amr bin Ash Gubernur di Mesir.
Anak itu mencambuk saya dan berkata: “Saya anak orang mulia, saya khawatir berita ini diketahui bapaknya dan memenjarakan aku. Tapi saya berhasil lolos, kemudian mendatangi Amirul Mukminin untuk menyampaikan masalah yang menimpaku."
Umar bin Khattab segera menulis surat kepada Amr bin Ash menyuruh datang bersama anaknya ke Madinah pada waktu musim haji. Setelah selesai haji, Umar bin Khattab memberikan cambuk kepada rakyat kecil dari Mesir itu dan berkata: “Cambuk anak orang mulia itu” agar dia tahu keadilan Islam.
Cambuk juga punggung bapaknya, rakyat kecil dari Mesir itu berkata: Cukuplah aku mencambuk orang yang mencambuk aku. Umar bin Khattab kemudian berkata kepada Amr bin Ash, kenapa engkau memperbudak manusia, padahal mereka dilahirkan ibunya dalam keadaan merdeka. Ucapan Umar bin Khattab ini berapa ratus tahun kemudian baru di kenal di revolusi Prancis dengan lahirnya Declaration of Independence.
Perbudakan berarti bertentangan tauhid al-ummah yang menjadi penopang ajaran Islam. Perbudakan juga bermakna menghilangkan kemanusiaan, menjatuhkan harkat dan martabat manusia, merampas hak-hak asasinya sebagai manusia, tidak memberi kesempatan untuk menyatakan pendapat, pikiran dan aspirasinya, serta menghalangi manusia untuk meraih cita-cita dalam kehidupannya.
Sejarah menuturkan, bangga karena keturunan tidak hanya melahirkan feodalisme tapi juga menyuburkan imperialisme. Berabad-abad lamanya Barat mengenal politik apartheid, bangsa kulit putih memperbudak bangsa kulit berwarna. Sehingga melakukan penindasan dan penjajahan hingga hari ini, seperti halnya bangsa Jepang yang merasa keturunan “dewa matahari” lalu melakukan penindasan di Timur. Sebelum perang dunia kedua, Hitler di Jerman mengajarkan dan menyebarkan paham akan kemuliaan bangsa Aria dari bangsa-bangsa lain di dunia. Sehingga melakukan penindasan di kamp-kamp konsentrasi tawanan perang.
Kini, suasana kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat merindukan persamaan dan keadilan ketika manusia masing-masing menonjolkan keturunan, kekuasaan, dan kekayaan, suara Umar bin Khattab nyaring terdengar “Kenapa engkau perbudak manusia, padahal mereka dilahirkan ibunya dalam keadaan merdeka”. Pesan Rasulullah Saw. mengingatkan “Tidak ada perbedaan kulit putih dan kulit hitam, kecuali amal saleh”. (*)