Oleh: Darussalam Syamsuddin
MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Umat Islam cenderung keliru memaknai ibadah dengan membatasinya hanya pada ibadah-ibadah ritual. Banyak umat Islam disibukkan hanya dengan urusan ibadah mahdah, namun mengabaikan kebodohan, kemiskinan, penyakit, kelaparan, kesulitan dan kesengsaraan hidup yang dialami saudara-saudara mereka di berbagai tempat. Sungguh tidak terhitung orang kaya yang dengan khusyu’ merapatkan dahinya di atas sajadah, sementara di seputar mereka terdapat orang-orang yang digerogoti kemiskinan dan kekurangan gizi.
Sungguh menjadi sebuah ironi, antara idealisasi ajaran dan realitas kenyataan umat di mana ketimpangan terlihat nyata dalam kehidupan umat Islam. Padahal rasul yang mulia Muhammad saw berpesan: “Perumpamaan kaum mukmin yang satu dengan lainnya dalam kasih sayang dan kesetiakawanan ibarat satu tubuh, yang bila satu anggota tubuh sakit, maka seluruh tubuh ikut merasa sakit”.
Islam mengajarkan, untuk membiasakan hal yang baik dengan menggerakkan umat Islam bersama-sama membantu meringankan beban penderitaan sesama muslim. Serta menghindari kebiasaan buruk dengan bersikap acuh tak acuh terhadap penderitaan terhadap sesama.
Dengan demikian kemiskinan, kebodohan, keterbelakangan, penyakit, dan kesulitan hidup merupakan masalah sosial yang penanggulangannya harus dilaksanakan melalui aksi sosial, bukan memandangnya sebagai masalah personal atau perorangan bagi masing-masing yang bersangkutan.
Berulang kali Al-Qur'an dan sunah Rasul saw menuntun bahwa kemiskinan dan keterbelakangan merupakan tanggung jawab bersama dengan menyebut karakteristik orang takwa. Pertama, Membela dan menolong yang lemah atau mustad’afin adalah ciri orang yang bertakwa.
Ayat Al-Qur'an menuntun: “orang yang menginfakkan hartanya di waktu lapang dan di waktu sempit, mengendalikan amarahnya, memaafkan sesamanya, dan gemar melakukan kebajikan” (QS. Ali Imran/3 : 134).
Kedua, mengabaikan dan acuh tak acuh serta tidak memberikan pertolongan kepada orang lemah dipandang sebagai pendusta-pendusta agama meskipun yang bersangkutan tertib melaksanakan ibadah ritual, tetapi lalai membantu fakir miskin dan anak yatim.
“Pernahkah kamu melihat pendusta-pendusta agama?, mereka itulah yang menghardik anak yatim, dan tidak mendorong memberi makan kepada orang miskin”. (Al-Ma’un/107 : 1-3).
Ketiga, membela nasib orang-orang lemah merupakan kebajikan yang paling utama memperoleh pahala yang lebih besar dari pada ibadah sunah. Pesan Nabi: “Siapa saja berjalan untuk memenuhi keperluan saudaranya pada satu saat di siang atau malam hari, dia berhasil atau tidak berhasil memenuhinya, itu lebih baik baginya dari pada iktikaf dua bulan di masjid”.
Orang yang mempelajari Islam akan menemukan perhatian bahwa ajaran Islam menaruh perhatian terhadap masalah kemiskinan, kebodohan, keterbelakangan, dan kesulitan hidup merupakan bencana sosial yang dapat mengancam eksistensi kehidupan umat manusia.
Membela orang-orang lemah atau mustadafin merupakan kelanjutan dari misi kenabian. Karena rasul diutus bukan hanya mengajari kita zikir dan doa saja, rasul diutus untuk menuntun dan mengajari kita agar dapat mengenal mana yang halal dan mana yang haram, mengajari kita tentang amar makruf nahi munkar, dan membebaskan mereka yang terbelenggu dari apa yang menindas mereka.
Banyak penulis sejarah menuturkan bahwa, Islam bukan hanya dipandang sebagai agama baru, melainkan sebagai agama pembebas umat manusia. Pada aspek inilah yang menyebabkan Islam dahulu dengan mudah dan cepat menyebar di Indonesia, padahal saat itu masyarakat Indonesia ditindas oleh kaum feodal.
Islam datang mengajarkan tentang persamaan dan pembebasan dari setiap yang membelenggu mereka termasuk kewajiban rakyat membayar upeti kepada raja-raja dan harus membanting tulang bekerja untuk memenuhi keperluan dan kebutuhan hidup mereka. (*)