Oleh: Muh. Ahsan Thamrin
MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Mafia selalu ingin menguasai negara. Cara kerja mafia adalah mengatur undang-undang yang bisa menguntungkan mereka dan kemudian mempengaruhi kebijakan. Itulah mengapa mereka sulit disentuh hukum.
Saat ini masyarakat Indonesia dibuat heboh dengan diungkapnya kasus mega korupsi di tubuh pertamina oleh Kejaksaan Agung. Tidak tanggung-tanggung kerugian negara dari korupsi tersebut pada tahun 2023 saja mencapai Rp 193,7 triliun sedangkan korupsinya sendiri berlangsung sejak tahun 2018 sampai 2023. Dengan demikian diperkirakan kerugian negara dari korupsi di pertamina ini bisa mendekati Rp 1.000 triliun atau Rp 1 kuadriliun.
Dengan besarnya kerugian negara tersebut disinyalir korupsi ini tidak hanya melibatkan sembilan orang yang saat ini jadi tersangka, tapi bisa jadi akan menyentuh pejabat yang lebih tinggi. Maka, Kejagung perlu melibatkan PPATK untuk membongkar aliran dana korupsi pertamina ini.
Periksa rekening perusahaan importir minyak itu dan apakah ada penarikan dana secara besar-besaran dan telusuri ke mana dana itu dialirkan. Langkah ini akan mengungkap siapa saja yang bermain dan diuntungkan dari korupsi ratusan triliun ini.
Namun perlu dijelaskan juga kepada masyarakat yang begitu geram dengan nilai fantastis korupsi ini, bahwa kerugian negara sebesar Rp 193,7 triliun itu bukan berarti seluruhnya dinikmati oleh pelaku. Hal ini penting untuk dijelaskan karena selama ini persepsi masyarakat kita apabila ada korupsi dengan kerugian negara sekian, itu sama dengan uang korupsi yang dinikmati oleh pelaku.
Bisa jadi korupsi yang dinikmati oleh pelaku hanya Rp 1 triliun tapi kerugian negaranya mencapai Rp 100 triliun. Hal ini karena dalam perhitungan kerugian negara telah disertai dengan pendekatan analis dampak yaitu dampak sosial dan dampak ekonomi atas kasus tersebut. Seperti dalam penanganan kasus-kasus besar seperti dalam kasus PT Timah dan Duta Palma yang kerugian negara mencapai ratusan triliun.