MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Fenomena "sowan" ke ketua umum menimbulkan pertanyaan, seberapa besar pengaruh rekomendasi DPP Golkar dalam menentukan arah Musda, dibandingkan dengan kekuatan suara dari 24 DPD II Golkar yang ada di Sulsel?
Pengamat politik dari Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar, Profesor Firdaus Muhammad mengungkapkan bahwa ada tiga aspek utama yang biasanya menjadi pertimbangan dalam melihat kelayakan seorang kader untuk memimpin Golkar, utamanya di Sulsel. Menurut dia, hal pertama yang dilihat adalah rekam jejak tokoh tersebut dalam partai.
“Rekam jejaknya sebagai kader Golkar yang menjadi modal dia untuk mendapatkan kepercayaan publik bahwa dia bisa memimpin Golkar di tingkat provinsi," kata Firdaus, Rabu (9/7/2025).
Aspek kedua, kata dia, adalah visi dan program kerja yang ditawarkan oleh calon yang ingin maju. Misalnya, bagaimana mereka berkomitmen menjadikan kembali Sulsel sebagai lumbung suara Golkar, serta strategi untuk menambah kursi di DPRD provinsi maupun kabupaten/kota.
Selain hal tersebut, aspek lainnya adalah hubungan baik antara calon dengan ketua umum partai atau pengurus DPP. Meski penting, menurut Firdaus, hubungan baik ini sebaiknya tidak dimaknai sebagai dukungan politik yang bersifat mutlak atau klaim pengamanan rekomendasi dari pusat.
“Makanya menurut saya, memang baiknya Pak Bahlil membuka pintu komunikasi politik untuk semua. Tapi jangan berpihak atau menjanjikan sesuatu ke salah satu calon. Ini penting agar semua kader merasa diperlakukan setara,” ujar dia.
Ia juga menegaskan bahwa tidak bisa serta merta seorang calon mengklaim sudah mengantongi dukungan dari DPP hanya karena sudah bertemu Bahlil. Ia menyebut silaturahmi itu penting, tetapi bukan berarti sudah ada keputusan final dari pusat.
Untuk itu, Firdaus berharap agar DPP, dalam hal ini Bahlil, benar-benar menjaga netralitas menjelang Musda. Semua calon harus diberi ruang yang sama, dan DPP tidak boleh melakukan intervensi terhadap suara-suara di daerah.
“DPD II itu punya suara, dan DPP punya peran membuka diri mengenal para calon. Tapi pemilih tetap DPD II. Jadi sebaiknya semua diberi kesempatan yang sama, bahkan kalau bisa dipanggil semua dipertemukan bersama lalu diberi wejangan-wejangan strategi membesarkan Golkar, dan semua pulang ke Sulsel dengan perasaan mendapatkan amanah sama dan pulang berkompetisi secara sehat," tutur dia.
Firdaus menyampaikan bahwa Musda seharusnya menjadi momentum rekonsiliasi, bukan ajang konflik. Ia mengingatkan bahwa sejarah Partai Golkar di Sulsel banyak dirusak oleh konflik antar kader yang menyebabkan pecahnya barisan dan berkurangnya kekuatan politik.
“Sudah ada pengalaman. Dari Pak IAS ke Syahrul Yasin Limpo, ke NH, ke Taufan Pawe yang seteru dengan NH. Ini semua merugikan Golkar,” ungkap Firdaus.
Atas dasar itulah, ia berharap Musda kali ini bisa menjadi awal yang baru bagi Golkar Sulsel. Sebuah proses demokratis yang sehat, dengan hasil yang diterima secara legowo oleh seluruh pihak, tanpa adanya gesekan pascapemilihan.
Menurutnya, jika proses Musda berjalan bersih dan diterima semua pihak, maka akan menjadi modal kuat untuk membangkitkan kembali kejayaan Golkar di Sulsel, yang selama ini tergerus oleh konflik internal berkepanjangan.
Firdaus menekankan bahwa yang paling penting adalah semua kader yang maju dan kalah dalam kontestasi, tetap loyal kepada partai. Ia berharap tidak ada lagi kader yang keluar membawa loyalisnya ke partai lain hanya karena kalah dalam Musda.
“Jangan sampai karena kalah, lalu menggembosi partai atau membawa orang-orangnya ke partai lain, itu tidak baik. Kita ingin semua yang ikut kontestasi ini tetap satu rumah besar, tetap membesarkan Golkar,” imbuh Firdaus. (isak pasa'buan/B)