Hal tersebut didasari pertimbangan bahwa penandatanganan persetujuan bersama Ranperda dimaksud merupakan tindakan strategis tetapi tidak berdampak pada perubahan status hukum pada aspek organisasi, kepegawaian, dan alokasi anggaran sesuai ketentuan Pasal 14 ayat (7) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.
Mengenai surat pemberian mandat dari Gubernur Sulawesi Selatan kepada Sekretaris Daerah untuk menandatangani persetujuan bersama ranperda, hal tersebut tidak dilakukan, sebab Gubernur Sulawesi Selatan berhalangan sementara karena telah dalam masa menjalani cuti.
Terkait hal tersebut juga mempertimbangkan ketentuan Pasal 34 ayat (2) UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan yang mengatur bahwa apabila pejabat pemerintahan berhalangan menjalankan tugasnya, maka atasan pejabat yang berhalangan dapat menunjuk pejabat pemerintahan yang memenuhi persyaratan untuk bertindak sebagai pelaksana harian atau pelaksana tugas.
“Terkait jalannya Rapat Paripurna DPRD tanggal 20 Juli 2022, pada prinsipnya tidak menolak Ranperda tentang Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD Tahun Anggaran 2021. Melainkan tidak menerima Sekretaris Daerah sebagai pelaksana harian Gubernur untuk menandatangani naskah persetujuan bersama Ranperda,” ujarnya.
Marwan juga mengatakan berdasarkan kondisi tersebut, maka Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD Tahun Anggaran 2021 akan disusun dan ditetapkan dalam bentuk Perkada (Pergub) berdasarkan ketentuan Pasal 323 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
"Dimana nanti dalam pelaksanaannya pemerintah daerah tetap akan melakukan konsultasi pada Kementerian Dalam Negeri," pungkasnya.
Terpisah, pengamat politik dan pemerintahan Universitas Muhammadiyah (Unismuh) Makassar, Andi Luhur Prianto mengatakan, pemerintah provinsi sangat mengecewakan. Faktor non-teknis penolakan Pertanggungjawaban APBD seperti ini, seharusnya tidak perlu terjadi.
"Jika Gubernur memahami mekanisme pendelegasian kewenangan pemerintahan. Memang komunikasinya harus bersifat formal dan tertulis. Bukan komunikasi pribadi," katanya.
Dirinya menyebutkan kebijakan anggaran bersifat strategis, sehingga kepala daerah yang mesti memberikan otorisasi.
"Kalaupun dilimpahkan kewenangan itu, harus bersifat formal," ujarnya.
Secara prinsip, wajar saja DPRD memberi insight terhadap pengelolaan keuangan. Apalagi dalam situasi defisit anggaran yang masih terus terjadi.
"Sayangnya, diskursus kebijakan anggaran kita tidak sampai ke tahap seperti itu. Malah terhenti di soal olah non-teknis seperti ini," tuturnya.
"Bagi publik Sulawesi Selatan, deadlock semacam ini tidak konstruktif. Konflik elit, yang membuat ketidakpastian pengelolaan anggaran publik," jelasnya. (Fahrul-Sasa)